Fusilatnews – Tidak pernah saya bayangkan, hari ini saya akan duduk semeja dengan Damai Hari Lubis — pengacara kondang yang baru saja ditetapkan sebagai tersangka kasus pencemaran nama baik dan dugaan fitnah ijazah palsu atas laporan Mantan Presiden Joko Widodo. Lokasinya pun tak biasa: sebuah hotel berbintang di kawasan Jakarta Utara.
Saat pertama kali melihatnya di lobi, rasa penasaran saya langsung membuncah. Di hadapan saya berdiri seorang pria berjas rapi dan berdasi, wajahnya teduh, langkahnya mantap. Tidak ada yang menunjukkan bahwa ia sedang diterpa badai hukum. Saya sempat berpikir, mungkin inilah caranya menghadapi tekanan: dengan tampil tegak, bukan tunduk.
Namun, karena acara masih berlangsung, saya harus menahan rasa ingin tahu itu. Baru saat waktu istirahat makan siang tiba, kesempatan berbincang datang. Kami bertiga — saya, Kang DHL, dan istrinya — duduk di satu meja bundar di sudut ruang makan hotel.
Suasana cair. Ia makan dengan lahap, sesekali melempar senyum, dan bercanda ringan. Tidak ada nada getir, tidak ada gestur gelisah. Obrolan kami mengalir ke mana-mana: soal politik nasional, perkembangan hukum, sampai cerita remeh tentang rekan lama.
Hanya sekali saja ia menyinggung nama sahabatnya.
“Kang Rizal Fadhilah lagi umrah,” katanya singkat, lalu kembali ke piringnya. Tidak ada pembicaraan soal kasus, tak ada kata “tersangka,” tak ada keluhan tentang proses hukum.
Dari ekspresi dan caranya menatap, saya menangkap kesan kuat: Damai Hari Lubis sama sekali tidak terpengaruh oleh status hukumnya. Ia tidak menolak kenyataan, tapi juga tidak menunduk di hadapannya. Ia seperti tengah membiarkan badai berlalu — dengan keyakinan bahwa dirinya berdiri di jalur yang benar.
Mungkin karena ia paham benar, hukum sering kali bergerak tidak semata-mata berdasarkan nurani. Ia tahu betapa lenturnya pasal-pasal bila menyentuh kepentingan politik. Maka, ketenangannya bukan tanda pasrah, melainkan bentuk kesiapan.
Sambil menyesap teh di akhir makan siang, ia sempat berkata pelan, “Dalam dunia hukum, benar dan salah itu sering kalah cepat dengan kuat dan lemah. Tapi saya tidak akan berhenti bicara soal benar.”
Kutipan itu seperti menegaskan apa yang selama ini diyakini banyak orang tentang dirinya: bahwa Damai Hari Lubis bukan sekadar pengacara, tapi juga suara yang menolak bungkam.
Sebelum kami berpisah, ia menepuk bahu saya sambil tersenyum kecil. “Tenang saja,” ujarnya, “semua ada waktunya.”
Kalimat sederhana, tapi terasa dalam. Dari caranya berbicara — tenang, berjarak, namun penuh keyakinan — saya tahu, ia tak gentar sedikit pun. Ia mungkin ditetapkan sebagai tersangka, tapi dalam pandangan saya, justru terlihat seperti orang yang sudah siap “tempur.”
Dan dari jas serta dasi yang ia kenakan hari itu, saya tahu: ia sedang menunjukkan satu hal — bahwa kehormatan tak pernah bisa dituduh bersalah.


























