Oleh Damai Hari Lubis
Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)
Dalam kasus tuduhan ijazah palsu Presiden Joko Widodo, penyidik telah menetapkan delapan orang sebagai tersangka. Namun, publik kerap mengira bahwa penetapan tersangka otomatis berarti perkara akan berujung di ruang sidang. Padahal, dalam hukum pidana, hal itu belum tentu terjadi.
Dari delapan tersangka yang telah ditetapkan, penyidik membaginya ke dalam dua gugus: gugus pertama terdiri dari Eggi Cs — termasuk DHL, KTR, RF, dan RE — sementara gugus kedua diisi oleh Roy Cs — yakni RS dan TF. Pembagian ini menandakan adanya diferensiasi peran dan kemungkinan nasib hukum yang berbeda di antara mereka. Tapi, apakah semua akan benar-benar menghadapi hakim? Belum tentu.
Secara hukum, penetapan seseorang sebagai tersangka hanyalah langkah administratif penyidik berdasarkan adanya dua alat bukti permulaan yang cukup. Itu belum berarti perkara harus diteruskan ke meja hijau. Ada beberapa alasan yuridis mengapa suatu perkara dapat berhenti sebelum sampai ke tahap penuntutan, bahkan meski status tersangka sudah disandang.
Pertama, bukti yang tidak cukup. Bila setelah penyidikan berlangsung ternyata bukti yang dikumpulkan tak mampu memperkuat sangkaan awal, maka penyidik dapat menghentikan perkara dengan menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
Kedua, tidak terpenuhinya unsur pidana. Dalam banyak kasus, penyidik menemukan bahwa tindakan tersangka ternyata tidak memenuhi unsur delik sebagaimana diatur undang-undang.
Ketiga, penerapan prinsip keadilan restoratif (restorative justice). Dalam prinsip ini, negara tidak selalu menempuh jalur pemidanaan, melainkan lebih menekankan penyelesaian yang mengedepankan pemulihan hubungan sosial, bukan pembalasan.
Namun di luar alasan hukum itu, ada faktor yang sering kali lebih menentukan: politik kekuasaan. Dalam praktiknya, naik atau tidaknya perkara ke pengadilan kadang lebih bergantung pada arah angin politik ketimbang asas keadilan. Beberapa kasus di tanah air menunjukkan bagaimana hukum kerap berhenti di meja penyidik — bukan karena bukti lemah, melainkan karena ada “kebijakan penguasa” yang menahan lajunya.
Contohnya bisa dilihat pada kasus-kasus yang menjerat Ade Armando, Firli Bahuri, hingga Eggi Sudjana sendiri. Status tersangka tidak otomatis menuntun mereka ke persidangan. Ada yang kasusnya mandek di penyidikan, ada pula yang perlahan-lahan menguap di udara publik.
Fenomena ini menunjukkan bahwa dalam praktik hukum Indonesia, penetapan tersangka bukanlah titik puncak, melainkan persimpangan. Di satu sisi, ia membuka jalan menuju proses peradilan yang seharusnya menegakkan hukum tanpa pandang bulu. Namun di sisi lain, ia juga membuka peluang bagi intervensi kekuasaan, kompromi politik, dan tafsir kepentingan yang bisa menunda — bahkan menggugurkan — keadilan itu sendiri.
Maka, pertanyaan “apakah perkara harus naik ke tingkat persidangan setelah seseorang ditetapkan tersangka?” jawabannya adalah: tidak selalu. Tetapi yang lebih penting untuk dipertanyakan hari ini mungkin bukan soal apakah harus, melainkan mengapa tidak.

Oleh Damai Hari Lubis
























