Oleh: Nazaruddin
Setiap kali tanggal 21 April tiba, bangsa ini kembali mengulang ritual yang sama — kebaya, bunga, dan potongan surat Kartini kepada sahabat Belandanya. Sebuah perayaan yang telah menjadi tradisi, tapi juga cermin dari narasi tunggal tentang kebangkitan perempuan Indonesia. Barangkali kini saatnya kita bertanya ulang: benarkah hanya Kartini yang pantas disebut pelopor kebangkitan perempuan Indonesia?
Di balik sorot lampu sejarah yang terlalu terang untuk Kartini, berdiri sosok lain yang bekerja dalam diam, membangun peradaban lewat pendidikan dan pengorbanan. Namanya: Rahmah El Yunusiyyah.
Ketika Kartini menulis tentang penderitaan perempuan Jawa dalam surat-suratnya kepada sahabat Eropa, Rahmah mendirikan sekolah untuk membebaskan perempuan dari kebodohan.
Pada 1 November 1923, perempuan asal Padang Panjang, Sumatera Barat ini mendirikan Diniyyah Putri School — lembaga pendidikan perempuan pertama di Indonesia yang memadukan ilmu agama, ilmu umum, dan keterampilan hidup. Di masa ketika banyak perempuan bahkan tak diizinkan bersekolah, Rahmah membuktikan bahwa perubahan sejati tidak lahir dari wacana, melainkan dari tindakan nyata.
Perbedaan Rahmah dan Kartini bukan sekadar soal zaman, tetapi soal paradigma.
Kartini berbicara tentang emansipasi dengan inspirasi dari Eropa, sementara Rahmah berpijak pada ajaran Islam yang sejak awal telah memuliakan perempuan. Ia menolak konsep kesetaraan yang meniru Barat, karena bagi Rahmah, perempuan tidak perlu meniru laki-laki untuk menjadi mulia — cukup kembali pada fitrahnya sebagai pendidik bangsa.
“Kalau saya tidak mulai sekarang, kaum saya akan tetap terbelakang,” ujarnya suatu kali. Dan ia benar-benar memulai — dengan seluruh tenaga, keyakinan, dan cinta yang ia miliki untuk bangsanya.
Dari sekolah yang ia bangun di lereng Gunung Marapi itu, lahir ribuan perempuan terdidik — para ibu bangsa yang menyebarkan cahaya pengetahuan ke seluruh penjuru negeri.
Bahkan Universitas Al-Azhar Kairo, lembaga Islam tertua dan termasyhur di dunia, terinspirasi langsung oleh model pendidikan Rahmah. Setelah Rektor Syaikh Abdurrahman Taj berkunjung ke Diniyyah Putri pada 1955, dua tahun kemudian Al-Azhar membuka fakultas perempuan (kulliyyât al-banât) dengan meniru sistem yang dibangun Rahmah.
Kartini mungkin menginspirasi Belanda, tetapi Rahmah menginspirasi dunia Islam.
Namun perjuangan Rahmah tidak berhenti di ruang kelas.
Ketika Jepang menjajah Indonesia, ia memimpin Anggota Daerah Ibu (ADI) untuk menentang pengerahan perempuan sebagai jugun ianfu. Tekanan kelompoknya berhasil membuat pemerintah Jepang menutup rumah-rumah prostitusi militer.
Setelah perang usai, Rahmah ikut mempelopori pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan menyerahkan harta pribadinya untuk perjuangan bangsa. Karena keberanian dan pengorbanannya, para pejuang muda menjulukinya “Bundo Kanduang Pejuang.”
Sayangnya, sejarah lebih sering memuliakan perempuan yang menulis kepada penjajah, ketimbang perempuan yang bekerja untuk bangsanya sendiri.
Kartini diabadikan dalam buku pelajaran, nama jalan, dan monumen; sementara Rahmah terlupakan di ruang-ruang kelas yang ia bangun dengan keringat, darah, dan air mata.
Padahal, jika kebangkitan perempuan diukur dari kerja nyata, bukan dari surat dan simbol, maka Rahmah El Yunusiyyah jauh lebih layak disebut sebagai pelopor sejati kebangkitan perempuan Indonesia.
Kini — meski terlambat — setelah Rahmah El Yunusiyyah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional, bangsa ini seolah menebus kelalaiannya sendiri.
Bahwa kebangkitan perempuan Indonesia tidak lahir dari pena yang menulis kepada penjajah, melainkan dari tangan yang mendidik anak bangsa.
Bukan Kartini yang menulis dari Jepara, tetapi Rahmah El Yunusiyyah dari Padang Panjang yang menghidupkan makna sejati kemerdekaan perempuan — perempuan yang berilmu, beriman, dan berdaya.

Oleh: Nazaruddin























