Oleh: Entang Sastraatmadja
Seiring perubahan lingkungan strategis di berbagai bidang kehidupan yang terus bergulir, Perum BULOG sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pun terus berupaya menata diri. Berulang kali para petingginya menyatakan tekad untuk memperbaiki citra perusahaan, salah satunya dengan langkah masuk ke pasar beras premium.
Selama ini, gudang-gudang Bulog masih tergolong konvensional dengan kapasitas penyimpanan hanya sekitar 1.300 ton. Akibatnya, jika beras disimpan terlalu lama, mutunya cepat menurun. Keterbatasan infrastruktur ini menjadi benang merah citra Bulog di mata masyarakat—beras Bulog sering dicap kurang bagus dan jauh dari kesan premium.
Kini, Bulog mencoba menepis stigma itu. Beberapa produk beras kualitas premium telah diluncurkan dengan merek Tanak, Uenak, Befood, Slyp Super, Befood Setra Ramos, dan Pulen Wangi. Produk-produk ini kini hadir tidak hanya di pasar tradisional, tetapi juga di pasar modern dan platform digital. Keluarga besar Bulog optimistis dapat menguasai pasar beras nasional melalui pembangunan infrastruktur pengolahan beras modern di berbagai sentra produksi padi di Indonesia.
Sebagai BUMN, Bulog memiliki pengalaman panjang dalam mengelola komoditas beras. Sejak kelahirannya, Bulog berkomitmen menjalankan fungsi pengadaan dan penyaluran beras sekaligus menjaga stabilisasi harga. Bulog telah dititipi amanah untuk menjadi lembaga parastatal—lembaga yang dijalankan dengan semangat bisnis, tetapi berlandaskan misi sosial negara.
Dari berbagai literatur, lembaga parastatal adalah organisasi di mana negara menjadi pemegang saham utama. Pemerintah memiliki kendali, sebagian atau seluruh modalnya, namun lembaga tersebut beroperasi layaknya perusahaan swasta dengan otonomi tertentu.
Karakteristik utamanya antara lain:
Berorientasi pada kepentingan publik, bukan sekadar keuntungan.
Memiliki otonomi manajerial dan aset sendiri.
Dibentuk melalui keputusan atau undang-undang pemerintah.
Bekerja sama dengan pemerintah untuk mencapai tujuan ekonomi dan sosial.
Diharapkan memiliki efisiensi tinggi karena relatif independen dari kepentingan politik.
Dengan posisi itu, Bulog seharusnya menjadi “saudara” petani, bukan sekadar pedagang besar. Bulog mesti menjaga hubungan erat dengan petani dan tampil sebagai penolong ketika harga gabah dipermainkan tengkulak, sehingga petani tidak merugi.
Namun, menjadi BUMN dengan dua fungsi sekaligus—fungsi bisnis dan sosial—jelas bukan perkara mudah. Terlebih jika diingat masa lalu Bulog sebagai Lembaga Pemerintah Non Departemen/Kementerian (LPND/LPNK) yang sepenuhnya berorientasi pada pelayanan publik. Dulu, Bulog tidak diminta berbisnis. Fokus utamanya adalah fungsi sosial: menstabilkan harga dan menjaga ketersediaan pangan.
Pada masanya, Bulog tampil prima. Saat panen raya, Bulog membeli gabah petani di atas harga dasar yang ditetapkan pemerintah. Ketika musim paceklik datang dan harga beras meroket, Bulog hadir dengan operasi pasar, menstabilkan harga, dan menenangkan rakyat. Citra Bulog kala itu adalah penjaga perut rakyat.
Namun, bagaimana kabar Bulog setelah menjadi BUMN?
Sejujurnya, sejak perubahan itu, Bulog hampir tidak pernah mencatatkan keuntungan signifikan. Bahkan beberapa kegiatan bisnisnya sempat menyeret sejumlah petinggi Bulog ke ranah hukum—dan ironisnya, sebagian harus “beristirahat” di Hotel Prodeo.
Hal ini sebenarnya bisa dimaklumi. Pegawai Bulog adalah “amtenar” tulen—abdi negara yang terbiasa melayani rakyat, bukan berkompetisi di pasar bebas. Mereka bukan pebisnis ulung. Maka ketika orientasi Bulog diubah dari lembaga sosial menjadi korporasi bisnis, jati diri Bulog seolah lenyap.
Dari berbagai perbincangan dengan pegawai Bulog, banyak yang mengaku lebih nyaman bila Bulog tetap menjadi LPND/LPNK ketimbang BUMN. Mereka sadar, tak mudah mengubah mentalitas pelayanan publik menjadi mentalitas bisnis dalam waktu singkat.
Bulog sejatinya memang piawai dalam hal pengadaan dan distribusi beras. Dibanding lembaga lain, kompetensinya di bidang itu sudah teruji. Jika hari ini muncul gagasan agar Bulog kembali memfokuskan diri pada sektor beras, gagasan itu sangat masuk akal. Di situlah habitat aslinya.
Kesimpulannya, apa yang kini dirancang Bulog untuk menata tata kelola perberasan secara modern dan profesional, patut kita dukung sepenuhnya. Citra Bulog akan kembali bersinar bila ia kembali menjadi penjaga perut rakyat, bukan sekadar pemain di pasar beras.

Oleh: Entang Sastraatmadja
























