Oleh: Radhar Tribaskoro
Ada saat-saat ketika sebuah bangsa seperti sedang menguji dirinya sendiri. Bukan melalui perang, bukan melalui pemilihan umum, bukan pula melalui kemajuan ekonomi. Tetapi melalui sesuatu yang tampak sederhana: sebuah gelar, sebuah nama yang hendak diangkat lebih tinggi dari nama-nama lain. Ketika Soeharto diusulkan kembali untuk dianugerahi gelar pahlawan nasional, sebenarnya negeri ini sedang menanyakan dirinya: apa yang ingin kita ajarkan kepada anak-anak kita tentang kebenaran, kekuasaan, dan memori?
Penganugerahan pahlawan adalah hal yang umum di dunia. Amerika menaruh Martin Luther King Jr. sebagai simbol keberanian moral untuk menghadapi ketidakadilan negara. Prancis mengistirahatkan Émile Zola di Panthéon sebagai lambang suara yang berani membela mereka yang dituduh tanpa bukti. Di tempat-tempat itu, pahlawan bukan hanya orang yang berjasa, tetapi orang yang nilai hidupnya ingin diwariskan sebagai pelajaran. Pahlawan adalah kurikulum sunyi bagi masa depan.
Namun tidak semua tokoh besar dijadikan pahlawan. Winston Churchill, meski memimpin Inggris keluar dari gelapnya Perang Dunia, tidak dipuja sebagai pahlawan moral karena kebijakan yang menyebabkan kelaparan di India. Napoleon adalah tokoh besar yang mengubah wajah hukum dan administrasi modern, tapi Prancis tetap menempatkan dirinya dalam jarak moral: Napoleon dihormati sebagai tokoh sejarah, bukan sebagai teladan kebajikan.
Negara-negara itu tampaknya mengerti bahwa jasa tidak sama dengan teladan. Bahwa membangun negara tidak otomatis berarti membangun nurani bangsa. Bahwa kekuasaan bisa memajukan ekonomi sambil merusak manusia dari dalam.
Dan di sini, Soeharto berdiri seperti sebuah teka-teki yang tidak ingin diselesaikan, tetapi terus dibawa-bawa, seperti beban yang kita enggan letakkan di tanah.
Kita tahu, sejarah Soeharto tidak terbaca dengan satu warna. Ia memimpin penghancuran Gerakan 30 September, mengakhiri kekacauan politik yang menjerat republik muda. Ia memimpin stabilisasi ekonomi, membangun infrastruktur, menekan inflasi, memelihara kestabilan jangka panjang. Generasi yang tumbuh pada era Orde Baru mengenang masa itu sebagai masa ketika harga kebutuhan pokok terasa terukur, dan negara seperti memiliki arah yang jelas.
Namun sejarah yang sama menampung sesuatu yang lain. Ada pembantaian besar setelah 1965 yang sampai hari ini tidak pernah mendapat kejujuran negara. Ada orang-orang yang dihilangkan, dipenjara, disiksa tanpa proses hukum. Ada surat kabar yang kehilangan suara, partai politik yang didiamkan, kampus-kampus yang dijaga dengan ketakutan. Ada korupsi yang terstruktur rapi, seperti benang besar yang melilit seluruh jaringan ekonomi Indonesia, membuat negeri ini makmur bagi segelintir, tapi rapuh bagi banyak.
Maka pertanyaannya bukan lagi: apakah Soeharto berjasa? Itu jelas. Tetapi: apakah jasa itu dapat dijadikan dasar keteladanan? Apakah negara sedang menetapkan prestasi atau menetapkan nilai?
Di sinilah filsafat mikul duwur mendem jero muncul. Sebuah ajaran Jawa: mengangkat tinggi jasa orang tua, mengubur dalam-dalam kesalahannya. Ajaran yang indah dalam keluarga. Ia menjaga cinta, kelembutan, kesetiaan pada darah dan kenangan. Tapi negara bukan keluarga. Negara bukan rumah di mana kita menutup aib demi menjaga perasaan.
Ketika falsafah keluarga dipindahkan ke ranah negara, maka kebenaran berubah menjadi kesunyian yang dipaksakan. Luka berubah menjadi sejarah yang dihapus. Dan generasi yang akan datang mewarisi bukan kebijaksanaan, melainkan kebingungan.
Sebab negara yang sehat tidak menutup mata pada kesalahan para pemimpinnya. Ia justru menengok luka itu agar generasi berikutnya tidak mengulanginya. Seperti kata Milan Kundera, “Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa.” Tanpa ingatan yang jujur, bangsa hanya akan berjalan dalam lingkaran.
Rusia memberi pelajaran yang menarik. Lenin tidak disebut pahlawan; ia dikenang sebagai pendiri negara. Stalin tidak diangkat sebagai pahlawan; ia dikenang sebagai pemimpin perang. Jasa mereka diakui, tetapi kejahatan mereka tidak dihapus. Museum Gulag berdiri di tengah kota. Arsip kekejaman tidak disembunyikan. Negara memelihara dua wajah sejarah itu secara bersamaan: jasa dibiarkan menjadi jasa, luka dibiarkan menjadi luka.
Hal yang sama terjadi di Jerman. Mereka tidak menghapus Hitler dari buku sejarah; mereka menelanjangi seluruh dosa ideologi itu. Mereka tidak membangun patung penghormatan, melainkan museum kesaksian. Di Berlin, para siswa diantar ke bekas kamp konsentrasi, bukan supaya mereka dicekoki rasa bersalah, tetapi supaya mereka tahu bahwa kebudayaan dapat menjadi gelap ketika kekuasaan tidak diawasi.
Kita belum melakukan itu. Kita melewati 1965 dengan bisu nasional. Kita membiarkan suara para penyintas hanya terdengar di simpang-simpang jalan diskusi terbatas. Kita membiarkan sejarah diajarkan dengan satu narasi. Dan kini, kita ingin mengangkat nama yang menjadi pusat dari semua itu sebagai pahlawan.
Bukan karena kita sudah berdamai, tetapi karena kita tidak pernah benar-benar membicarakan apa yang terjadi.
Jika penganugerahan ini terjadi, maka ia bukan perayaan sejarah. Ia adalah penutupan sejarah. Ia adalah penguburan kesaksian. Ia adalah pernyataan bahwa luka bukan masalah, bahwa kekuasaan boleh menumpahkan darah, selama hasil akhirnya terlihat megah.
Seperti kata Václav Havel, “Rezim paling berbahaya bukan yang menindas kebenaran, tetapi yang menghapus kebutuhan akan kebenaran.”
Dan di situlah kekhawatiran terbesar berada: jika Soeharto dijadikan pahlawan tanpa proses kebenaran yang jernih, generasi baru akan memahami bahwa kekuasaan berhak atas pengampunan. Mereka akan belajar bahwa keberhasilan politik boleh menghapus kesalahan moral. Mereka akan menyerap gagasan bahwa kesunyian terhadap luka adalah bagian dari patriotisme.
Padahal tugas sejarah bukan menenangkan. Tugas sejarah adalah membuat kita melihat diri sendiri apa adanya, tanpa tirai.
Pahlawan, pada akhirnya, bukan orang yang paling berjasa. Pahlawan adalah orang yang ketika namanya disebut, kita menyadari sesuatu tentang manusia, tentang bangsa, tentang arah hidup yang lebih jernih. Pahlawan adalah yang meninggalkan warisan moral, bukan hanya warisan bangunan dan jalan raya.
Soeharto adalah tokoh besar. Ia akan tetap hadir dalam lembar-lembar sejarah Indonesia, mau kita kehendaki atau tidak. Tetapi kebesaran tidak harus berarti kepahlawanan. Kita boleh mengingat jasanya, tetapi kita tidak boleh menutup luka yang terjadi di bawah kepemimpinannya.
Sejarah yang sehat bukan sejarah yang bersih, melainkan sejarah yang jujur. Dan bangsa yang matang adalah bangsa yang berani mengatakan: ada yang telah kita bangun, ada juga yang telah kita rusak. Kedua-duanya harus diingat.
Sebab masa depan tidak dibangun dari kebanggaan semata.
Masa depan dibangun dari keberanian untuk menatap cermin, bahkan ketika yang tampak di sana bukan wajah yang membuat kita bangga.===
Cimahi, 11 September 2025

Oleh: Radhar Tribaskoro
























