Dalam ilmu komunikasi, ada satu prinsip yang kerap luput dari perhatian: kata-kata bukan hanya alat ekspresi, tetapi juga alat pengaruh—a tool of influence. Ia bekerja secara halus, menyelinap lewat intonasi, diksi, hingga konteks, lalu menancap dalam kesadaran lawan bicara. Dialog sederhana pun bisa berubah menjadi ruang transformasi, sebagaimana peristiwa kecil antara Fujiwara-san dan Damai Hari Lubis, pengacara kondang nasional, yang justru memperlihatkan betapa ampuhnya sebuah kalimat yang diucapkan pada saat yang tepat.
Pada suatu perbincangan santai, Fujiwara-san—dengan gaya khas Jepang yang ringkas, jujur, dan tanpa basa-basi—mengatakan bahwa “manfaat dari silaturahmi itu adalah obat baginya.” Kalimat itu sederhana. Tidak menggurui. Tidak pula berpretensi memberi wejangan moral. Namun justru karena kesederhanaannya, ia bekerja seperti pesan komunikasi paling efektif: straightforward yet meaningful.
Dalam teori komunikasi antarpribadi (interpersonal communication), ada konsep yang disebut self-disclosure—keterbukaan diri yang jujur dan autentik. Ketika seseorang mengungkapkan sesuatu yang personal, bahkan bila hanya berupa perasaan, ia menciptakan jembatan psikologis kepada lawan bicaranya. Fujiwara-san melakukan itu. Ia tidak memberi nasihat. Ia tidak menasehati pentingnya silaturahmi. Ia hanya membuka diri.
Dan di situlah “Word Power” bekerja.
Damai Hari Lubis menangkap pesan itu bukan hanya sebagai informasi, tetapi sebagai relational cue—isyarat hubungan. Tanpa jeda, ia menjawab, “Kalau begitu saya harus sering-sering bersilaturahmi.”
Jawaban itu bukan sekadar respons humor atau basa-basi sopan santun. Itu adalah bentuk reciprocity dalam komunikasi: ketika satu pihak membuka diri, pihak lain terdorong memberi tanggapan yang selaras dan sejajar. Inilah mekanisme komunikasi yang membuat hubungan manusia terasa hidup dan setara, bukan hirarkis.
Kalimat Fujiwara-san menunjukkan bagaimana kata-kata yang tulus mampu menciptakan resonansi emosional. Ketika ia menyebut silaturahmi sebagai “obat”, ia sebenarnya sedang menyusun metafora terapeutik yang kuat. Dalam kajian linguistic framing, metafora semacam ini mengaktifkan asosiasi positif: obat adalah penyembuh, pereda sakit, pemulih keseimbangan. Dengan begitu, silaturahmi tidak lagi sekadar aktivitas sosial, tetapi sebuah praktik penyembuhan.
Damai Hari Lubis merespons metafora itu dengan memposisikan dirinya sebagai pihak yang ingin berpartisipasi dalam proses penyembuhan itu. Inilah alignment—penyelarasan makna yang membuat percakapan terasa organik dan cair.
Dan di ruang kecil dialog dua orang itu, komunikasi bekerja sebagaimana idealnya: menciptakan pemahaman baru, membangun kedekatan, serta memperkuat kualitas hubungan tanpa perlu retorika muluk-muluk.
Dalam dunia yang penuh kebisingan, pernyataan Fujiwara-san adalah pengingat bahwa kata-kata yang benar-benar berpengaruh sering kali bukan yang paling panjang, paling keras, atau paling canggih. Justru yang paling bermakna adalah kata-kata yang lahir dari kejujuran pengalaman.
Di situlah keajaiban komunikasi bekerja.
Sebuah kalimat bisa menjadi pintu bagi percakapan yang lebih hangat. Sebuah pernyataan sederhana bisa menciptakan ruang refleksi bagi lawan bicara. Dan sebuah metafora yang tepat bisa mengubah cara seseorang memaknai hubungan sosialnya.
Dahsyatnya kata-kata bukan pada jumlahnya, tetapi pada kejujuran yang terkandung di dalamnya—seperti kata-kata Fujiwara-san, yang dalam ketenangan dan kesederhanaannya, mampu menggerakkan respons spontan yang penuh makna dari Damai Hari Lubis.
Pada akhirnya, komunikasi yang efektif selalu berawal dari hal yang paling manusiawi: kesediaan untuk membuka diri, mendengar, dan memberi respon yang setara. Dan dari situlah silaturahmi bukan lagi sekadar tradisi, tetapi menjadi “obat” sosial yang memperkaya kehidupan kita.























