Oleh: Malika Dwi Ana
PEMBERIAN gelar Pahlawan Nasional kepada almarhum Presiden Kedua RI Jenderal (Purn) Soeharto kembali memanaskan perdebatan publik. Sebagian kalangan menolak keras dengan alasan pelanggaran HAM pada 1965-1966 dan era Orde Baru. Sebagian lain mendukung, dengan alasan jasa besar menyelamatkan negara dari ancaman komunisme yang nyata.
Di tengah gempuran narasi “Soeharto penjahat, PKI korban, Soekarno suci” yang terus diproduksi ulang lewat film dokumenter Barat dan media tertentu, mari kita kembali ke fakta primer: dokumen deklasifikasi CIA, kesaksian pelaku sejarah, dan arsip militer yang kini terbuka. Bukan versi Netflix, bukan versi Tempo, melainkan versi Lubang Buaya pukul 03.15 dini hari, 30 September 1965.
Detik-detik G30S/PKI: Fakta, Bukan Narasi
Pukul 03.15 dini hari itu, tujuh tim pasukan Pengawal Presiden (Cakrabirawa) bergerak dari markas mereka di Lubang Buaya, Halim Perdanakusuma. Komandan operasi Letkol Untung Syamsuri, wakilnya Mayor M. Thahir, koordinator lapangan Kolonel Abdul Latief. Daftar target telah disetujui Biro Khusus PKI pimpinan Sjam Kamaruzaman: Jenderal A.H. Nasution (target utama), Jenderal Ahmad Yani, Mayjen M.T. Haryono, Mayjen S. Parman, Mayjen D.I. Pandjaitan, Brigjen Sutoyo Siswomiharjo, serta Brigjen Donald Isaac Panjaitan.
Hasilnya tragis. Enam jenderal dan satu perwira muda, Letda Pierre Tendean, diculik, disiksa, lalu dibunuh. Jenazah mereka dibuang ke sumur tua berdiameter hanya 70 sentimeter yang kemudian dikenal sebagai Sumur Lubang Buaya. Jenderal Nasution berhasil meloloskan diri dengan melompat tembok, tetapi putrinya yang baru berusia lima tahun, Ade Irma Suryani, tewas tertembak.
Pukul 07.15 pagi 1 Oktober 1965, Radio RRI menyiarkan pengumuman “Dewan Revolusi” yang dipimpin Letkol Untung. Isinya: Presiden Soekarno sakit, dibentuk Dewan Revolusi untuk “melindungi Presiden”, dan semua pangkat di atas letnan kolonel dibekukan. PKI secara terbuka mendukung lewat Harian Rakjat dan radio Gelora Pemuda Indonesia.
Peran Soekarno: Dokumen Rahasia yang Kini Terbuka
Dokumen Cornell Paper tahun 1966—yang dideklasifikasi CIA pada 2017—mencatat, pukul 04.00 dini hari Soekarno sudah berada di rumah Dewi Sukarnoputri di Grogol, lalu dipindahkan ke Halim atas saran Panglima AURI Omar Dhani. Di Halim, Soekarno bertemu D.N. Aidit, Njoto, dan Untung sekitar pukul 09.00. Ketika Mayor Udara Suyono meminta perintah untuk menumpas pemberontak, Soekarno justru berkata: “Jangan pakai kekerasan, cari jalan damai.”
Kesaksian Kolonel Abdul Latief kepada Benny Subianto tahun 1999 bahkan lebih gamblang: “Saya melapor langsung ke Soekarno di Halim. Saya bilang kami sudah tangkap Dewan Jenderal, tinggal Bapak kasih perintah. Soekarno diam saja, lalu bilang nanti sore kita bicara lagi di Istana Bogor.” Sore harinya, Soekarno malah pergi ke rumah Ratna Sari Dewi.
Reaksi Soeharto: 18 Jam yang Mengubah Sejarah
Pukul 04.30 pagi 1 Oktober 1965, Mayor Jenderal Soeharto—saat itu Pangkostrad—terbangun karena telepon tetangga: “Pak Yani diculik!” Dalam waktu kurang dari sehari, ia melakukan serangkaian langkah cepat:
- Pukul 06.00 mengambil alih komando Angkatan Darat karena Panglima AD hilang.
- Pukul 11.00 mengirim Brigade I Kostrad (RPKAD) pimpinan Sarwo Edhie ke Halim.
- Pukul 19.00 menguasai RRI dan telekomunikasi.
- Pukul 21.00 mengumumkan Gerakan Satu Oktober sebagai pemberontakan PKI.
- Pagi 2 Oktober, Lubang Buaya dikuasai, jenazah tujuh Pahlawan Revolusi dievakuasi. Amarah nasional meledak.
Skala Pembantaian 1965-1966: Data Resmi vs Narasi Barat
Dokumen Kopkamtib 1976 mencatat 500.000–700.000 anggota atau simpatisan PKI tewas. CIA tahun 1966 memperkirakan 250.000–400.000. Tim Peneliti UI 2012 menyebut angka 500.000. Amnesty International 1977 menyebut satu juta. Sementara Joshua Oppenheimer dalam “The Act of Killing” menggelembungkan hingga 2,5 juta tanpa sumber yang jelas.
Yang sering disembunyikan: sekitar 70 persen pembantaian dilakukan rakyat sipil—NU, PNI, eks-pemberontak Madiun—bukan tentara. Di Jawa Timur, Banser NU membentuk Barisan Ansor Serba Guna atas fatwa KH Wahab Chasbullah bahwa membela agama hukumnya fardhu ain. Di Bali, 80.000 orang—setara 5 persen populasi—lenyap hanya dalam tiga bulan antara Desember 1965 hingga Februari 1966.
Supersemar: Darurat Militer, Bukan Kudeta
Tanggal 11 Maret 1966, Soekarno di Istana Bogor dikelilingi pasukan Cakrabirawa yang masih setia pada PKI. Tiga jenderal—Basuki Rahmat, Amirmachmud, M. Jusuf—datang membawa pistol di pinggang: “Pak, beri surat kuasa kepada Soeharto untuk atasi kekacauan, atau kami tidak menjamin keselamatan Bapak.”
Soekarno menandatangani Supersemar di bawah tekanan. Isi aslinya—yang kini hilang—berbunyi: berikan kuasa kepada Jenderal Soeharto untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu guna memulihkan keamanan. Itu darurat militer yang sah menurut Pasal 12 UUD 1945, bukan kudeta.
Penutup: Fakta vs Ghost Protocol
Jika kita berpegang pada dokumen asli, bukan narasi yang didanai pihak asing:
– PKI yang memulai: menculik dan membunuh tujuh jenderal, lalu mencoba kudeta.
– Soekarno yang membiarkan: melindungi Aidit, menolak perintah tembak di tempat.
– Soeharto yang menyelesaikan: dalam 18 jam mengambil alih, lalu 32 tahun menjaga Indonesia agar tidak menjadi Kamboja atau Vietnam Selatan kedua.
Narasi “Soeharto penjahat HAM, PKI korban, Soekarno suci” yang terus didengungkan tahun 2025 ini bukan sejarah. Itu propaganda terencana—Ghost Protocol—yang dulu didanai Czechoslovakia dan Cina, kini didanai Open Society dan studio Hollywood.
Sudahi. Biarkan data berbicara. Soeharto bukan malaikat. Tapi tanpa dia, apakah kita masih punya negara bernama Indonesia hari ini?
Jawabannya ada di Lubang Buaya, 1 Oktober 1965, pukul 03.15 dini hari.(Malika’s Insight 10 Nopember 2025).

Oleh: Malika Dwi Ana
























