Oleh: Karyudi Sutajah Putra, Marbot Muhsala
Ismail menghilang. Padahal, pedang Ibrahim sudah terlanjur diayunkan. Tiba-tiba Ismail tergantikan oleh seekor domba. Domba itu pun tertebas sudah. Ismail menyeringai senyum di sampingnya.
Kini, Ismail kembali menghilang. Bukan fisik Ismail putra kesayangan Ibrahim, melainkan sifat Ismail yang rela berkorban. Di manakah kau kini, Ismail?
Kita coba cari di Istana. Ternyata, di ranah eksekutif ini tidak ada sosok Ismail yang benar-benar ikhlas berkorban. Presiden, Wakil Presiden, Menteri dan hulubalang lainnya nyaris setiap hari berbicara soal bagaimana mempertahankan dan melanjutkan kekuasaan. Berbuat baik kepada rakyat pun dalam rangka mempertahankan dan melanjutkan kekuasaan itu.
Bahkan bukan hanya mempertahankan dan melanjutkan kekuasaan, melainkan juga bagaimana mengeruk kekayaan. Catat saja sudah berapa banyak menteri yang korupsi sejak era reformasi. Korupsi adalah jalan pintas paling mudah mengumpulkan kekayaan.
Ada Rokhmin Dahuri. Ada Said Agil Husein Al Munawar. Ada Achmad Sujudi. Ada Hari Sabarno. Ada Bachtiar Chamsyah. Ada Siti Fadilah. Ada Andi Mallarangeng. Ada Jero Wacik. Ada Suryadharma Ali. Ada Idrus Marham. Ada Imam Nahrawi. Ada Edhy Prabowo. Ada Juliari Batubara. Teranyar ada Johnny G Plate. Mereka berasal dari partai politik yang berbeda-beda.
Di bawah Kementerian Keuangan ada Rafael Alun Trisambodo, Andhi Pramono dan sebagainya yang terlibat korupsi.
Di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang merupakan cabang dari eksekutif, dan yang mempunyai misi luhur memberantas korupsi, ternyata kita pun sulit menemukan sosok Ismail yang rela berkorban. Ada gratifikasi, pungli, dan korupsi di sana. Juga ada pelecehan seksual dan perselingkuhan.
Demikian pula di Kejaksaan Agung dan Kepolisian RI yang merupakan cabang dari eksekutif, kita juga sulit menemukan sosok Ismail. Di kejaksaan ada Urip Tri Gunawan dan Pinangki Sirna Malasari, misalnya. Di Polri ada Ferdy Sambo, Teddy Minahasa, Djoko Susilo, dan sebagainya. Terlalu banyak untuk disebutkan.
Kita coba cari di ranah legislatif, yakni Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI. Ternyata di sana pun sulit menemukan sosok Ismail. Bahkan korupsi di lembaga legislatif menyentuh pucuk pimpinan, yakni Ketua DPR RI Setya Novanto dan Ketua DPD RI Irman Gusman.
Kita coba cari di ranah yudikatif, yakni Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK). Ternyata sulit pula menemukan sosok Ismail di sana. Korupsi di lembaga yudikatif juga menyentuh pucuk pimpinan. Ada Ketua MK Akil Mochtar dan hakim MK Patrialis Akbar yang terlibat korupsi.
Di MA, sedikitnya ada dua hakim agung yang terlibat korupsi, yakni Sudradjad Dimyati dan Gazalba Saleh. Dua pucuk pimpinan administrasi di MA juga terlibat korupsi, yakni Sekretaris Jenderal Nurhadi Abdurrachman dan Hasan Hasbi.
Corruption by Greed
Jika mereka yang duduk di eksekutif, legislatif dan yudikatif itu ikhlas atau rela berkorban dalam bekerja, maka tidak akan terjadi korupsi.
Ada dua motif korupsi. Yakni, kebutuhan dan keserakahan. Korupsi karena kebutuhan disebut “corruption by need”. Inilah yang mungkin dilakukan oleh oknum-oknum petugas Rutan KPK.
Korupsi karena keserakahan disebut “corruption by greed”. Inilah yang dilakukan oleh para menteri, anggota legislatif, serta hakim konstitusi dan hakim agung itu. Mereka bukan orang miskin. Mereka orang kaya. Tapi toh masih korupsi juga.
Di Indonesia, “corruption by greed” lebih dominan daripada “corruption by need”.
Pun ada dua pemicu korupsi, yakni niat dan kesempatan. Jika ada niat tapi tak ada kesempatan, maka tak terjadi itu korupsi. Demikian pula, jika ada kesempatan tapi tak ada niat, tak terjadi itu korupsi.
Niat adanya di dalam hati. Sedangkan kesempatan adanya di aturan perundang-undangan dan pengawasan. Aturan dan pengawasan yang membuat dan melaksanakan adalah manusia, sehingga dipastikan tidak akan sempurna. Karena tidak sempurnah itulah maka segala aturan dan pengawasan bisa disiasati dan dicari celahnya.
Kebutuhan dan keserakahan juga adanya di dalam hati. Nah, jika hati ini sudah seperti hatinya Ismail yang ikhlas berkorban, niscaya bisa mengendalikan kebutuhan, meniadakan keserakahan, serta tidak memiliki niat apalagi mencari-cari kesempatan untuk korupsi.
Ismail, di manakah kini kau berada? Secara fisik, Ismail memang tak ada lagi di dunia, sehingga musykil kita temukan. Tapi sifat dan keteladanannya selalu hadir di antara kita, terutama saat Iduladha seperti yang baru saja kita rayakan dengan pemotongan hewan korban.
Bukan darah atau daging hewan korban yang sampai kepada Allah SWT/Tuhan YME, melainkan ketakwaan kita. Salah satu wujud bertakwa adalah ikhlas. Dengan Ikhlas, maka kita tidak akan korupsi.
Nah, jika kita sudah Ikhlas, berarti kita sudah menemukan sosok Ismail. Bahkan sosok Ismail itu sudah ada di dalam hati kita masing-masing. Insyaallah!
BalasTeruskan |