Oleh: Malika Dwi Ana
Jika tiga kejahatan sistemik yang dirumuskan Mardigu WP — gerrymandering, kakistokrasi, dan kleptokrasi — dijadikan dasar hukum formal, kemungkinan Jokowi “ditawur” oleh rakyat akan turun drastis dari 15–20 persen menjadi di bawah 5 persen. Sebaliknya, peluang diadili secara hukum naik menjadi 35–45 persen dalam 12–18 bulan ke depan. Berikut analisis per poin, disertai bukti hukum, celah impunitas, dan skenario eskalasi massa.
1. Gerrymandering: Manipulasi Dapil untuk Kuasai Pemilu
Dasar hukum yang bisa dipakai adalah Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 dan UU No. 7/2017 Pasal 187, yang mewajibkan dapil bersifat proporsional, kontigu, dan kohesif. Putusan MK No. 92/PUU-XV/2017 juga melarang dapil berbentuk “Superman”.
Bukti konkret: Dapil Jawa Tengah VI (2019) dan Jawa Timur VII (2024) terpisah 3–4 kabupaten, dengan malapportionment lebih dari 25 persen menurut analisis Perludem 2024. Terdapat rekaman suara bocor (Mei 2024) yang menunjukkan intervensi KPU melalui Menko Polhukam Tito Karnavian.
Peluang diadili: Sekitar 40 persen, karena Perludem dan BEM SI telah mengajukan gugatan ke MK sejak 14 Oktober 2025.
Celah impunitas: MK masih dikendalikan Anwar Usman, keluarga Jokowi.
Risiko kekerasan massa: Rendah, sebab isu teknis pemilu sulit menggugah emosi rakyat. Namun, jika MK membatalkan dapil 2024, bisa terjadi pemilu ulang parsial, menjadikan Jokowi penyebab krisis konstitusi dan memicu demo nasional hingga 100 ribu orang — tetap terkendali aparat.
2. Kakistokrasi: Pemerintahan oleh Orang Tak Layak
Dasar hukum: Tap MPR No. VI/2001 yang melarang nepotisme di jabatan publik, serta UU No. 28/1999 Pasal 3 yang mewajibkan pejabat memiliki kompetensi dan integritas.
Bukti konkret: Putusan MK 90/PUU-XXI/2023 terkait Gibran melanggar etika berat menurut DKPP (2024). Jokowi juga menunjuk 17 menteri tanpa latar belakang memadai (ICW 2025) dan melakukan rekrutmen ASN TWK 2021 yang memecat 75 pegawai KPK secara sistematis.
Peluang diadili: Sekitar 35 persen, melalui class action oleh 57 eks pegawai KPK ke PTUN dan gugatan konstitusi.
Celah impunitas: Prabowo melindungi Gibran sebagai Wakil Presiden.
Risiko massa: Sedang, karena isu dinasti sangat emosional dan bisa memicu demo di Solo, kampung halaman Jokowi. Jika PTUN memenangkan gugatan dan Gibran dicopot, kemarahan basis PDIP bisa memunculkan bentrok di Solo dengan risiko “ditawur” naik menjadi 8–10 persen.
3. Kleptokrasi: Penjarahan Sistematis Kekayaan Negara
Dasar hukum utama: UU Tipikor Pasal 2 dan 3 tentang kerugian negara serta memperkaya diri atau kroni.
Bukti konkret:
Proyek Whoosh mengalami mark-up Rp116 triliun dengan pinjaman China tanpa persetujuan DPR (BPKP, September 2025).
IKN mengalirkan Rp466 miliar ke PT Surya Mas Sejahtera, perusahaan keluarga Kaesang, menurut audit BPK 2025 yang bermasalah.
Kasus Timah merugikan negara Rp300 triliun; Harvey Moeis dan Helena Lim terbukti bersalah, dan Jokowi disebut telah mengetahui sejak 2018 (sidang 14 Oktober 2025).
Peluang diadili: Tertinggi, sekitar 45 persen, karena KPK telah meningkatkan status kasus Whoosh ke penyidikan sejak 21 Oktober 2025 dan mendesak pemanggilan Jokowi.
Celah impunitas: Jokowi bukan tersangka langsung, hanya “orang yang wajib tahu.”
Risiko massa: Paling tinggi, karena isu uang rakyat menyentuh langsung emosi publik. Potensi demo bisa mencapai satu juta orang. Jika Jokowi menolak panggilan KPK, tagar #AdiliJokowi bisa trending hingga 10 juta cuitan, dan risiko “ditawur” naik menjadi 15 persen di Solo atau Jakarta.
Kesimpulan: Hukum Bisa Mencegah “Ditawur” Massa
Jika ketiga kejahatan ini dijadikan dasar hukum formal, kemungkinan “ditawur” turun di bawah 5 persen, sementara peluang diadili naik menjadi 35–45 persen. Demo akan tetap besar, namun terkendali karena aparat siaga.
Syarat utama:
KPK harus independen,
MK harus bersih,
Prabowo tidak ikut campur.
Rekomendasi praktis:
Laporkan ketiga kejahatan ini ke KPK dengan bundel bukti BPKP dan ICW agar menjadi class action korupsi sistemik.
Gugat ke MK soal dapil dan nepotisme untuk membatalkan legacy Jokowi secara konstitusi.
Hindari provokasi di Solo dan jangan menyerang rumah pribadi Jokowi, karena bisa menjadi jebakan simpatik (playing victim). Masyarakat masih mudah bersimpati pada yang tampak didhalimi atau dikuyo-kuyo.
Hukum adalah vaksin terbaik melawan kekerasan “ditawur” massa. Jika gagal, maka ramalan Cak Nun bukan mistik — melainkan statistik.
(Malika’s Insight, 01/11/2025. Sumber lengkap dapat diminta via DM Facebook: Malika Dwi Ana)

Oleh: Malika Dwi Ana























