Oleh : Jaya Suprana
DI MASA Orba muncul istilah yang sangat ditakuti rakyat Indonesia terutama yang tidak setuju dengan kebijakan pemerintah yang sedang berkuasa. Syukur Alhamdulilah pada medio tahun 1998 muncul gerakan menggulingkan tahta singgasana rezim Orba demi menghadirkan suasana demokratis yang melahirkan rezim baru yang disebut sebagai Oref sebagai akronim Orde Reformasi.
Sesuai yang diharapkan, maka lenyaplah istilah dipetruskan sebab tentu saja Oref tidak ingin dinilai sama lalim dengan Orba. Namun tampaknya virus haus kekuasaan juga menjangkiti rezim Oref yang merasa tahta singgasana terancam oleh rakyat yang tidak sependapat dalam kebijakan dengan pemerintah. Lambat laun rezim Oref makin merasa gerah dan geram ketika menghadapi kritik rakyat akibat kurang atau justru berlebih percaya diri sehingga bersikap mirip Louis XIV yang sesumbar L’etat est moi. Maka secara dogmatis dijamin bahkan dipaksakan pemerintah pasti benar sehingga hukumnya wajib tidak boleh dikritik.
Agar beda dari Orba, maka Oref kreatif bikin istilah baru untuk tindakan baru yang beda dari istilah lama untuk tindakan lama, yaitu bukan lagi dipetruskan, tetapi dipolisikan. Peran Petrus diganti oleh Polisi demi melindungi kedaulatan kekuasaan penguasa yang lupa bahwa mereka hanya bisa berkuasa berkat dipilih oleh rakyat. Meski terkesan absurd, namun apa boleh buat perilaku manusia yang sedang mabuk termasuk mabuk kekuasaan memang niscaya terhuyung-huyung seperti itu. Lambat tapi pasti penguasa mulai sibuk mempertahankan tahta kekuasaan dengan senjata baru untuk memberangus mulut dan pemikiran para pengritik penguasa.
Para pengritik penguasa juga mengalami evolusi julukan stigmasisasi, yaitu semula disebut radikal lalu kampret lalu kadrun lalu bahkan teroris! Berpihak ke masyarakat adat juga dianggap musuh penguasa, maka hukumnya wajib dipolisikan. Yang berpihak ke rakyat tergusur dianggap tidak berpihak ke penguasa, maka harus dipolisikan.
Terminologi alasan untuk membenarkan kasus dipolisikan juga kreatif beranekaragam banget mulai dari ujaran kebencian sampai membuat kegaduhan atau bahkan kalau perlu tangkap dulu baru alasan menyusul sebab bisa dicari atau dibuat belakangan. Namun secara obyektif harus diakui bahwa dipolisikan di masa kini masih jauh lebih sesuai Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab ketimbang dipetruskan di masa lalu. Dipolisikan maksimal berujung dipenjarakan, sementara diprestruskan minimal berujung lenyap dari dunia fana ini. Namun secara subyektif harus diakui bahwa saya cukup berhak merasa ketar-ketir akibat khawatir gegara menulis naskah tentang dulu dipetruskan kini dipolisikan ini saya akan dipolisikan.
Insya Allah saya cuma paranoid maka GR plus lebay sehingga kekhawatiran saya berlebihan belaka. Pada kenyataan tulisan saya sedemikian dangkal makna maka tidak pernah sedemikian bermakna penting sehingga layak dianggap berbahaya mengancam kekuasaan siapa pun juga. MERDEKA!
Sumber : Kompas.com