BSD, Tangerang — Fusilatnews – Lampu-lampu sorot menari di langit-langit hall 9 ICE BSD, Banten. Musik tradisional bertalu-talu, menyambut rombongan tamu asing berjas gelap yang beriringan menuju panggung utama. Di layar raksasa terpampang angka: USD 22,8 miliar — nilai transaksi ekspor yang tercatat sepanjang lima hari pelaksanaan Trade Expo Indonesia (TEI) 2025.
Sorak tepuk tangan menggema. Menteri Perdagangan Budi Santoso menunduk sedikit sebelum berbicara di podium. “Capaian ini membuktikan daya saing ekspor Indonesia tetap kuat di tengah tantangan global,” katanya dengan nada penuh percaya diri. Di bawah panggung, para pelaku usaha menyalami satu sama lain. Sebagian tersenyum lega, sebagian lain menatap layar ponsel mereka — mencoba memastikan apakah transaksi yang disebut itu memang benar-benar terwujud.
Panggung Dagang, Panggung Citra
Trade Expo Indonesia telah menjadi ajang tahunan pemerintah untuk memamerkan kekuatan ekonomi nasional. Tahun ini, tema besarnya: “Stronger Exports, Stronger Nation.” Acara diikuti oleh lebih dari 1.500 perusahaan dari 38 provinsi, menampilkan produk unggulan mulai dari batik, furnitur, makanan olahan, hingga komoditas strategis seperti nikel dan kopi.
Di tengah gegap gempita, spanduk besar bertuliskan “Rekor Baru!” menjadi latar favorit pengunjung untuk berfoto. Namun di balik euforia itu, sejumlah pengamat menilai keberhasilan angka USD 22,8 miliar tak serta-merta mencerminkan kekuatan ekspor riil.
“Sebagian besar transaksi masih berbentuk Letter of Intent, bukan kontrak dagang final,” ujar ekonom dari INDEF, Bhima Yudhistira. “Angka itu lebih bersifat proyeksi niat bisnis, bukan hasil ekspor yang langsung menambah devisa.”
Tempo memperoleh dokumen ringkasan transaksi yang menunjukkan bahwa sekitar 60 persen nilai transaksi berasal dari sektor bahan mentah—seperti batu bara, minyak sawit, dan logam dasar—yang cenderung rentan terhadap fluktuasi harga global.
“Jadi meski nilainya besar, nilai tambahnya kecil,” kata Bhima. “Kita masih mengekspor tanah dan tenaga, bukan teknologi.”
Kilau di Tengah Bayang
Kemeriahan TEI 2025 berlangsung di tengah situasi fiskal yang tidak sepenuhnya menggembirakan. Data Kementerian Keuangan menunjukkan defisit anggaran tahun berjalan mencapai 2,9 persen dari PDB, sementara utang luar negeri menembus Rp 8.300 triliun.
Bagi pemerintah, kesuksesan TEI menjadi modal politik dan moral untuk menenangkan pasar dan publik. “Narasinya sederhana: di tengah tekanan global, Indonesia tetap produktif dan diminati dunia,” ujar analis ekonomi politik dari CSIS, Arya Fernandes. “Tapi realitas lapangan tidak sesederhana itu.”
Arya menyoroti bahwa sebagian besar pelaku usaha yang tampil di TEI adalah kelompok besar yang sudah mapan—dengan akses fasilitas fiskal dan logistik yang tak dimiliki pelaku UMKM. “Jadi, pertanyaannya: siapa yang sebenarnya menikmati manfaat ekspor ini?” katanya.
Pelaku Usaha Kecil Masih Tertatih
Di salah satu sudut hall pameran, Murni Wulandari, pemilik usaha kerajinan rotan asal Cirebon, duduk di balik stan mungilnya. Ia menatap selembar brosur dalam bahasa Inggris yang baru diterjemahkan semalam. “Sudah tiga hari belum ada pembeli asing yang serius,” ujarnya. “Kebanyakan hanya tanya-tanya dan foto.”
Murni mengaku biaya ikut pameran mencapai hampir Rp 20 juta — ongkos besar bagi usahanya yang hanya memiliki delapan karyawan. “Kami bangga bisa tampil di acara nasional, tapi kalau tidak ada kontrak nyata, kami bisa rugi.”
Kisah Murni mewakili wajah lain dari “rekor ekspor” yang diumumkan di panggung utama. Di balik angka miliaran dolar, banyak pelaku kecil yang masih berjuang untuk sekadar menembus pasar luar negeri.
Kebijakan yang Tak Menyentuh Akar
Pemerintah berulang kali menyebut ekspor sebagai jalan keluar dari tekanan ekonomi. Namun kebijakan industri belum berpihak pada peningkatan kapasitas produksi dan riset.
Di sektor pertanian, misalnya, Indonesia masih harus mengimpor beras, jagung, dan garam—komoditas yang dulu menjadi tulang punggung ekspor kolonial. “Ironisnya, kita ekspor nikel dan CPO, tapi tak bisa mencukupi pangan sendiri,” kata ekonom pertanian Teuku Rahman. “Itu tanda bahwa arah pembangunan masih bertumpu pada citra makro, bukan perbaikan mikro.”
Antara Optimisme dan Ilusi
Pada penutupan TEI, Menteri Budi Santoso kembali menegaskan keyakinannya bahwa ekspor Indonesia akan terus tumbuh dua digit pada 2026. “Kita akan buktikan bahwa Indonesia bukan hanya penonton di perdagangan dunia,” ujarnya dengan nada optimistis.
Namun di luar gedung pameran, lalu lintas macet panjang di Jalan BSD Grand Boulevard menjadi penanda lain dari paradoks pembangunan: di dalam, Indonesia menandatangani miliaran dolar kontrak dagang; di luar, masyarakat masih berkutat dengan infrastruktur yang sama, kemacetan yang sama, dan kesenjangan yang sama.
“Trade Expo ini seperti etalase mewah di depan toko yang kosong,” kata Bhima Yudhistira menutup komentarnya. “Kita perlu memastikan isi toko itu benar-benar ada — bukan hanya lampu sorot dan angka di layar.”
Narasi yang Perlu Dikaji Ulang
Angka USD 22,8 miliar memang bisa dibanggakan. Tapi di negeri dengan jurang ketimpangan tinggi, angka itu juga bisa menjadi cermin dari illusion of progress—kemajuan yang tampak di atas kertas, tapi belum menyentuh dapur rakyat.
Trade Expo Indonesia 2025 akhirnya berakhir dengan pesta kembang api dan lagu kebangsaan yang menggetarkan hall pameran. Namun ketika lampu-lampu sorot padam dan pengunjung pulang, yang tersisa hanya lantai yang lengang, brosur berserakan, dan pertanyaan lama yang tak kunjung dijawab:
Apakah ekspor besar berarti rakyat sejahtera — atau hanya berarti pemerintah kembali punya angka untuk dijual di panggung politik?

























