Penghasilan sopir truk dan bus di Jepang sangat bervariasi tergantung pada wilayah dan jenis pekerjaan yang dilakukan. Jika kita mengonversi nilai penghasilan dari yen ke rupiah dengan asumsi kurs JPY 1 = IDR 107, maka rata-rata gaji sopir truk berat di Jepang adalah sekitar JPY 4,852,387 per tahun, atau setara dengan IDR 519,197,409 per tahun. Ini berarti gaji per jam mereka adalah sekitar JPY 2,333, yang setara dengan IDR 249,631 per jam. Rentang gaji ini biasanya berkisar antara JPY 3,513,128 hingga JPY 5,803,455 per tahun, yang setara dengan IDR 375,902,696 hingga IDR 620,769,685 per tahun.
Untuk sopir di Tokyo, rata-rata penghasilan tahunan mereka adalah sekitar JPY 3,688,948, atau sekitar IDR 394,717,436 per tahun. Jika dihitung per jam, mereka mendapatkan sekitar JPY 1,774, yang setara dengan IDR 190,818 per jam. Rentang gaji di Tokyo berkisar antara JPY 2,829,423 hingga JPY 4,264,424 per tahun, yang setara dengan IDR 302,550,261 hingga IDR 456,290,568 per tahun.
Gaji sopir truk ini dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti shift kerja dan pengalaman. Sopir yang bekerja pada shift malam atau akhir pekan mungkin mendapatkan kompensasi tambahan berdasarkan diferensial shift.
Tantangan Logistik di Jepang
Namun, Jepang menghadapi tantangan besar dalam memenuhi kebutuhan logistiknya di masa mendatang. Berdasarkan studi terbaru dari Nomura Research Institute, Jepang akan mengalami kekurangan sebesar 36 persen sopir truk dari jumlah yang dibutuhkan untuk memenuhi permintaan logistik negara tersebut pada tahun fiskal 2030. Hal ini disebabkan oleh populasi yang menua dan diperkenalkannya reformasi tahun ini yang bertujuan untuk mengurangi kelebihan jam kerja.
Volume angkutan jalan di Jepang pada tahun fiskal yang berakhir Maret 2031 diproyeksikan mencapai 1,40 miliar ton, sedikit menurun dari 1,43 miliar ton pada tahun fiskal 2020. Sementara itu, jumlah sopir truk diperkirakan akan menurun drastis dari 660.000 pada tahun fiskal 2020 menjadi 480.000 pada tahun fiskal 2030, yang berarti kekurangan sebesar 36 persen dari tenaga kerja yang dibutuhkan untuk mengirimkan 1,40 miliar ton kargo.
Wilayah yang paling terkena dampak adalah Tohoku di timur laut Jepang dan Shikoku di barat, yang masing-masing akan mengalami kekurangan sebesar 41 persen, diikuti oleh Kyushu di barat daya dengan 40 persen.
Dampak Ekonomi dan Solusi
“Diperlukan peningkatan efisiensi logistik untuk menghindari dampak ekonomi yang serius,” kata Kazuyuki Kobayashi, manajer grup konsultasi logistik di Nomura Research Institute. Batas lembur sekitar 18 jam per minggu untuk pengemudi truk, taksi, dan bus diperkenalkan pada bulan April sebagai upaya Jepang untuk memperbaiki kondisi kerja di industri yang mengalami kekurangan tenaga kerja yang akut.
Meskipun batasan tersebut bertujuan untuk mencegah kelebihan jam kerja, ada kekhawatiran bahwa jam kerja yang lebih pendek akan berakibat pada penurunan kapasitas pengiriman transportasi, penurunan pendapatan operator layanan, dan kenaikan biaya yang dibebankan kepada pengirim, sebuah isu yang dikenal sebagai “masalah 2024.”
Dengan kenaikan gaji akibat kekurangan sopir dan harga bahan bakar yang meningkat, institut tersebut juga memperkirakan bahwa biaya transportasi yang ditanggung oleh pengirim akan naik sebesar 34 persen antara tahun fiskal 2022 dan fiskal 2030.
Untuk mengatasi tantangan ini, rekomendasi yang diberikan termasuk meningkatkan otomatisasi dalam operasi gudang dan bekerja sama dengan perusahaan lain dalam menyewa layanan truk. Dengan demikian, efisiensi logistik dapat ditingkatkan untuk menghindari dampak ekonomi yang serius.