Oleh: Radhar Tribaskoro
Indonesia jangan gampang bangga. Jabatan presiden G20 itu giliran, siapapun
anggotanya pasti dapat. Jabatan itu pun baru berlaku 2022, bukan sekarang. Puja-puji
para buzzer dan beberapa media nasional dalam hal ini, sungguh sangat tidak pada
tempatnya.
Indonesia sudah menjadi anggota G20 sejak didirikan tahun 1999. Pada waktu itu G20
hanya menyangkut pertemuan Menteri-menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral.
Tujuannya adalah untuk mengantisipasi tidak terjadi lagi krisis ekonomi 1998. G20
beranggotakan 19 negara plus Uni Eropa. Anggota-anggota dipilih berdasar kepada
ukuran ekonomi, jumlah penduduk, dan pertimbangan lain. Belanda dan Spanyol punya
ukuran ekonomi yang besar tetapi mereka menjadi anggota di bawah naungan Uni
Eropa. Thailand memiliki ukuran ekonomi lebih tinggi dari Afrika Selatan, tetapi Afsel
yang dipilih menjadi anggota demi mewakili benua Afrika.
Tahun 2008 G20 telah berkembang sehingga pengelolaannya dirasa perlu melibatkan
presiden atau kepala negara. Tahun itu diselenggarakan KTT G20 yang pertama di
Washington DC, Amerika Serikat. Presiden Susilo Bambang Yudoyono hadir dalam
pertemuan itu (lihat foto). Jadi tidak benar bahwa keanggotaan Indonesia di G20 dimulai
sejak pemerintahan Presiden Jokowi. Pada tahun 2022 Indonesia menjadi Presiden G20
ke-14, jadi memang sudah waktunya.
Menjadi anggota G20 juga tidak usah bangga. Ukuran ekonomi kita termasuk 20 besar
karena penduduk kita besar. Namun bila dihitung secara pendapatan per kapita, kita ada
di urutan terbawah kedua, setelah India yang penduduknya semilyar lebih. Pendapatan
per kapita kita hanya 1/7 dari pendapatan per kapita Korea Selatan yang di urutan ke-10
dan 1/15 pendapatan per kapita Amerika Serikat yang berada di puncak G20.
Jadi saya lebih melihat keanggotaan Indonesia di G20 sebagai kesempatan, bukan
kehormatan. Saya kira kita tidak perlu kebanggaan palsu. Kita akui saja, kita negara
miskin. Kita bahkan tidak lebih baik daripada India yang nyata pendapatan per kapitanya
hanya sekitar separuh kita. India memiliki kapasitas dan ekspor produk industri yang
sangat kuat. Ketika tahun 2020 ekonomi seluruh dunia ambruk, India sendirian tumbuh
7,8%. Eksekutif keturunan India bertebaran di hampir semua perusahaan Fortune 500.
Tidak diragukan India akan tampil sebagai kekuatan industri dan informatika yang besar
di masa datang. Hal itu sejalan dengan semakin banyaknya prestasi kelas dunia di
bidang sains dan humaniora. Sekarang setidaknya 5 orang warganegara India tercatat
sebagai pemenang Hadiah Nobel di bidang fisika, kesusastraan, ekonomi dan
perdamaian. Di luar itu ada 4 orang keturunan India namun warganegara lain juga telah
memenangi Hadiah Nobel.
Dalam hemat saya kita tidak punya hak untuk berbangga. Sebagai bangsa yang sudah
76 tahun merdeka kita masih menghadapi kemiskinan massal yang menggiriskan. Gatot
Nurmantyo dalam diskusi Evaluasi 7 tahun pemerintahan Jokowi 21 Oktober 2021,
mengutip Bank Dunia, menyebutkan jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 27 juta.
Angka itu sesuai standar Bank Dunia yang menetapkan garis kemiskinan pada
penghasilan $1.9/hari, untuk negara-negara berpendapatan rendah. Standar Bank
Dunia itu meningkat untuk negara berpendapatan menengah bawah menjadi $3.2/hari,
dan negara berpendapat menengah atas sebesar $5.5/hari.
Indonesia dengan pendapatan per kapita rata-rata $4500/tahun sudah termasuk negara
berpendapatan menengah bawah. Pada tingkatan ini orang miskin di Indonesia
(pendapatan per kapita $3.2/hari) berjumlah 57,6 juta orang atau 31,5% dari jumlah
populasi. Sementara itu bila dibandingkan dengan Vietnam dan Thailand, persentase
penduduk miskin (dengan standar $3.2/hari) di Vietnam hanya 6,6%, sementara
Thailand hanya 0,6%. Kembali ke pernyataan Gatot Nurmantyo, pembangunan ekonomi
di Indonesia dalam 7 tahun terakhir, sama sekali tidak memihak kepada penduduk
miskin!
Bila ditatap lebih seksama, ekonom Antoni Budiawan menyebutkan bahwa 6,6 juta
penduduk Indonesia di 29 kabupaten/kota termasuk penduduk termiskin di dunia
dengan penghasilan kurang dari $1.000/kapita. Kabupaten Pegunungan Arfak di Papua
adalah kabupaten termiskin nomor dua di dunia dengan pendapatan per kapita $329,
hanya sedikit di atas negara termiskin Burundi yang berpendapatan $293/kapita.
Sekali lagi, kita tidak punya hak berbangga. Kita harus akui bila kita negara miskin. Kita
tidak sok hebat
, kita tidak gentar berada di panggung dunia lantaran kita punya martabat. Martabat itu
mengatakan bahwa “Sekalipun miskin kita tidak butuh siapapun menolong. Kita akan
membangun bangsa kita dengan kekuatan sendiri”. Hal itu tidak sukar sepanjang
seluruh potensi negara ini diarahkan demi kemaslahatan rakyat.
Saya cenderung kehadiran kita di G20 sebagai peluang. Pertama, ini adalah peluang
kita untuk menciptakan arsitektur keuangan dunia yang lebih berkeadilan, yang
membuka peluang lebih besar dan luas bagi bermilyar penduduk miskin di dunia untuk
memperbaiki nasibnya. Kedua, peluang untuk berkontribusi kepada dunia karena dari
sanalah orang sedunia menghormati kita. Walau kita miskin kita tidak rugi menyumbang
kepada kepentingan dunia. Kepentingan dunia itu hadir saat ini: mengendalikan
perubahan iklim. Iklim dunia memang rusak akibat proses industrialisasi yang tidak
terkendali di negara-negara maju. Namun hal itu tidak boleh mencegah kita untuk
mendukung pencegahan kerusakan alam lebih lanjut. Itu hal terhormat yang bisa kita
lakukan.
Hal yang paling tidak terbayang bagi saya adalah mengumbar informasi palsu
seakan-akan kita telah menjalankan agenda-agenda dunia berkenaan dengan mitigasi
perubahan iklim dan menjalankan standar pembangunan berkelanjutan, padahal
bohong. Saya juga tidak bisa membayangkan perjanjian telah ditandatangani presiden
lantas dianulir oleh menteri-menteri sendiri.
Hal itu sungguh TIDAK TERHORMAT! Sungguh perbuatan memalukan dan sangat tidak
bisa dibanggakan.