Dalam Sejarah jepang Era samurai adalah era paling keras. Khususnya pada periode Sengoku, dimana anggota prajurit terus-menerus dalam risiko bahwa hidup mereka bisa tiba-tiba berakhir sebagai akibat dari perselisihan, kekuasaan, atau kehormatan.
Itulah kisah yang melibatkan Chiba Kunitane, pemimpin klan Chiba ke-29 yang mengontrol area Jepang timur yang dulu disebut Shimosa (Prefektur Chiba sekarang). Pada 1585, Kunitane memanggil pengikutnya ke Sakura Castle, benteng utama klan Chiba untuk perayaan Tahun Baru.
Saat perayaan tersebut, salah satu pengikut Kunitane, Kuwata Mangoro, kentut di depan tuannya itu. Saat Mangoro melanggar etika lagi dengan kentut untuk kedua kalinya, Kunitane mulai menghukumnya atas ketidaksopan santunannya. Namun, Mangoro meresponnya dengan:
“Kentut bisa datang kapan saja tanpa peduli waktu, jadi mengapa kau harus memarahiku di depan semua pengikutmu?”
Mendengar itu, Kunitane murka, entah karena ia tak setuju dengan pernyataan “kentut bisa datang kapan saja” atau karena ia tak suka saat pengikutnya berani menentangnya. Ia menendang Mangoro hingga tersungkur dan mulai meraih pedangnya, namun dicegah oleh pengikutnya yang lain. Tentu tak etis jika ada pertumpahan darah di acara Tahun Baru, dan rasanya, memang sedikit berlebihan Kunitane murka karena hal sepele itu. Kendati demikaian. Kemarahan Kunitane tak langsung mereda, membuat Mangoro dibiarkan hidup, meski harus tinggal bersama salah satu pengikut Kunitane selema beberapa periode.
Setelah hukuman beakhir, Kunitane pun memaafkan Mangoro dan Mangoro pun kembali ke Sakura Castle untuk melayani tuannya. Namun, layaknya bau kentut yang tak langsung hilang, dendam Mangoro pada Kunitane pun masih membekas. Dan pada 1 Mei malam, ia memasuki kamar pribadi Kunitane dan menusuk Kunitane yang tertidur dengan belati sebanyak 2 kali, sama dengan jumlah kentut yang ia keluarkan pada Tahun Baru.
Teriakan kaget dan kesakitan Kunitane pun mengundang para penjaga kastil untuk datang. Dan meski Mangoro berhasil kabur ke pedesaan terdehat, ia terpojok karena berakhir di hutan dan hanya memiliki 2 pilihan: bunuh diri atau dieksekusi oleh mereka yang mengejarnya. Sementara itu, Kunitane berhasil bertahan selama 6 hari sebelum akhirnya tewas di usianya yang ke 28.
Lebih parahnya lagi, fakta bahwa pewaris Kunitane baru berusia 10 tahun pada saat itu membuat klan ini tak punya pewaris langsung. Klan Chiba sendiri berafiliasi dengan klan Hojo yang lebih kuat karena Kunitane menikah dengan salah satu putri Hojo Ujimasa. Hojo menganggap bahwa karena putra Kunitane masih terlalu muda untuk mengambil alih tugas ayahnya, domain klan Chiba akan dikelola oleh salah satu putra Ujimasa.
Lima tahun kemudian, Hojo ditaklukkan oleh tentara Toyotomi Hideoyoshi, dan klan Chiba tidak pernah merebut kembali kendali atas tanah yang sekarang menggunakan nama mereka.
Pada akhirnya, ini adalah tragedi aneh, banyak nyawa yang melayang gara gara kentut, Untungnya, periode Sengoku berakhir setelah itu, membuat Jepang lebih tenteram, dan yang terpenting sekarang kentut di depan umum tidak akan membuat nyawa anda hilang
Sumber : SORA News