FusilatNews – Kongres III Projo yang digelar pada 1–2 November 2025 semula diharapkan menjadi ajang reuni politik dua figur besar: Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Namun, dua-duanya tidak hadir. Jokowi dikabarkan berhalangan karena anjuran dokter untuk beristirahat, sementara Prabowo memilih untuk tidak datang meski telah menerima undangan resmi.
Sekilas, ini tampak seperti kebetulan. Namun bagi yang membaca tanda-tanda politik, ketidakhadiran Prabowo justru menjadi pesan simbolik yang keras — sebuah tamparan elegan terhadap Jokowi dan para relawan Projo yang masih bernafas dalam semangat kultus individu.
Projo: Organisasi yang Kehilangan Arah
Projo didirikan sebagai wadah relawan pendukung Joko Widodo ketika ia masih menjabat sebagai Presiden. Namun kini, setelah Jokowi tak lagi berada di tampuk kekuasaan, organisasi ini kehilangan arah ideologis. Ia tidak lagi berperan sebagai gerakan kebangsaan, melainkan sekadar perpanjangan nostalgia politik terhadap figur yang sudah tidak memiliki posisi konstitusional.
Menjadikan kongres sebagai ajang glorifikasi terhadap seorang mantan presiden bukanlah ekspresi demokrasi, melainkan bentuk pelestarian primordialisme politik. Jika dibiarkan, semangat semacam ini berpotensi merusak kedewasaan demokrasi dan menanamkan benih fanatisme terhadap individu, bukan terhadap nilai-nilai kebangsaan.
Prabowo dan Politik Diam yang Menohok
Keputusan Prabowo untuk tidak menghadiri kongres tersebut bukan tindakan tanpa makna. Sebagai Presiden, ia memahami bahwa hadir di forum yang berakar pada kultus individu akan menimbulkan tafsir publik bahwa ia ikut melestarikan pola fanatisme personal yang dulu mewarnai politik era Jokowi.
Sebaliknya, dengan tidak hadir, Prabowo menegaskan batas antara politik kenegaraan dan politik relawan. Ia memilih berdiri di atas kepentingan nasional, bukan tunduk pada romantisme masa lalu. Sikap ini adalah bentuk koreksi moral terhadap praktik politik yang kerap menuhankan tokoh, bukan menegakkan sistem.
Ketidakhadiran Jokowi: Simbol Pudarnya Wibawa
Ironisnya, Jokowi sendiri juga tidak hadir. Alasan kesehatan yang disampaikan ajudannya memang terdengar manusiawi, namun dalam bahasa politik, ketidakhadiran Jokowi di rumah relawannya sendiri menandakan pudarnya wibawa dan daya magnet politiknya.
Ia memilih berbicara lewat video, bukan berdiri langsung di hadapan massa yang dulu mengangkatnya. Absennya Jokowi dan ketidakhadiran Prabowo menjadikan Kongres III Projo sekadar panggung nostalgia — tempat di mana gema masa lalu bergaung tanpa substansi.
Tamparan Simbolik bagi Jokowi
Ketidakhadiran Prabowo adalah tamparan simbolik terhadap Jokowi. Tanpa satu kalimat pun, Prabowo menunjukkan bahwa ia tidak akan melanjutkan politik berbasis loyalitas personal. Ia menolak mewarisi gaya kepemimpinan yang membiarkan relawan tumbuh menjadi alat kultus individu.
Sikap itu sekaligus menunjukkan arah baru politik nasional: bahwa seorang Presiden seharusnya berdiri di atas semua golongan, bukan menjadi simbol bagi satu kelompok yang menuhankannya.
Penutup
Ketidakhadiran Prabowo di Kongres Projo bukan sekadar absensi, melainkan pernyataan politik dalam diam — bahwa politik Indonesia harus kembali kepada rasionalitas, bukan romantisme personal.
Bagi Jokowi, momen ini adalah pengingat: warisan sejati seorang pemimpin bukanlah barisan relawan yang mengagungkan namanya, melainkan bangsa yang tetap bersatu tanpa perlu terus menyebut namanya.

























