Oleh Damai Hari Lubis
Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)
Komisi Pemberantasan Korupsi tampaknya sedang kehilangan arah. Dalam kasus dugaan korupsi proyek kereta cepat Jakarta–Bandung atau Whoosh, lembaga antirasuah itu memilih diam seribu bahasa. Nama-nama pihak yang sudah diperiksa dirahasiakan, dengan alasan perkara masih di tahap penyelidikan.
Alasan ini terdengar rapi secara diplomatik, tapi rapuh di hadapan hukum. KUHAP tidak pernah melarang penyidik menyampaikan informasi pada tahap penyelidikan—apalagi sekadar menyebut inisial. Justru, keterbukaan merupakan bagian dari asas good governance yang wajib dipegang oleh setiap penyelenggara negara. Transparansi bukan pilihan etis, tapi kewajiban yuridis.
Baik KUHAP, Undang-Undang Polri, Undang-Undang KPK, maupun Tipikor, semuanya berpijak pada prinsip akuntabilitas. Bahkan, keterbukaan informasi semacam ini tidak melanggar Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi ataupun Keterbukaan Informasi Publik, selama tidak menyangkut rahasia pertahanan negara. Jadi, alasan untuk menutup-nutupi nama para terperiksa dalam kasus yang sudah jadi bahan omongan publik nasional ini, jelas tidak berdasar.
Apalagi, proyek Whoosh bukan proyek seumur jagung. Ia berstatus proyek strategis nasional, dengan dana jumbo dan aroma kepentingan politik yang kental. Sejak awal, publik sudah mencium sesuatu yang tidak wajar: pembengkakan biaya, kontrak tak transparan, hingga dugaan adanya intervensi kekuasaan.
Aroma itu makin menyengat setelah beberapa tokoh penting bicara. Purbaya, misalnya, memberi isyarat adanya kejanggalan keuangan. Mahfud MD—mantan Menkopolhukam dan orang dekat Jokowi—menambah bumbu dengan pernyataan bernada kritik. Media menulisnya, publik membicarakannya, dan KPK? Justru memilih menutup telinga dan menutup nama.
Sikap bungkam itu menimbulkan pertanyaan besar: siapa yang sebenarnya sedang dilindungi? Kalau alasan KPK adalah kehati-hatian, seharusnya mereka paham, asas presumption of innocence (praduga tak bersalah) justru mengizinkan keterbukaan tanpa menghakimi. Menyebut nama seseorang yang masih diperiksa bukan berarti menuduhnya bersalah—hukum sudah menjaminnya.
Tapi KPK memilih jalan lain. Mereka mengundang publik untuk menebak-nebak, seperti permainan tebak buah manggis: manis di luar, entah busuk atau tidak di dalam. Maka, wajar jika publik kini sibuk berspekulasi—nama Jokowi, Luhut, Sri Mulyani, hingga Erick Thohir beredar dalam bisik-bisik politik. Dalam level lembaga, dugaan mengarah pada Polri, Kejaksaan, BPK, BPKP, bahkan KPK sendiri.
KPK lupa, menutup-nutupi bukan tanda integritas, tapi indikasi ketakutan. Ketertutupan justru meruntuhkan kepercayaan publik yang sudah menipis sejak lembaga itu kehilangan taring. Dulu, KPK menjadi simbol harapan, kini justru jadi bahan sindiran.
Lembaga antirasuah itu semestinya sadar: keterbukaan bukan ancaman bagi keadilan, tapi syarat agar keadilan bisa hidup. Semakin disembunyikan, semakin publik yakin ada yang busuk.
Kalau KPK masih ingin disebut penjaga moral hukum, hentikan permainan petak umpet di jalur cepat Whoosh. Karena publik bukan anak kecil yang bisa dibujuk dengan alasan prosedural. Transparansi adalah satu-satunya tiket agar KPK tidak tergelincir di rel ketidakpercayaan.


























