Damai Hari Lubis-Pengamat Hukum & Politik Mujahid 212
Setiap orang yang melanggar larangan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 276 ayat (1) Jo. 287 Ayat (2) dan Ayat (5) UU RI Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, akan dikenakan sanksi sesuai dengan Pasal 492 Jo. Pasal 493 UU Pemilu.
Saat ini, pasal-pasal tersebut yang mengatur perbuatan pelanggaran dalam Pemilu telah digunakan oleh pihak yang mengatasnamakan Dewan Pimpinan Pusat Forum Komunikasi Santri Indonesia (Foksi) untuk melaporkan orang-orang yang terlibat dalam pembuatan film dokumenter “DIRTY VOTE”. Pasal-pasal tersebut, yang diduga telah dilanggar sesuai dengan kajian dan analisis hukum, memiliki isi sebagai berikut:
Pasal 276 menyatakan:
Pasal 276 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d menegaskan bahwa Kampanye Pemilu dilaksanakan mulai 3 (tiga) hari setelah ditetapkan Daftar Calon Tetap anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk pemilihan anggota DPR, DPD, dan DPRD serta Pasangan Calon untuk pemilihan presiden dan Wakil Presiden, hingga dimulainya Masa Tenang.
Sementara itu, Pasal 276 ayat (1) huruf f dan huruf g menunjukkan bahwa Kampanye Pemilu dilaksanakan selama 21 (dua puluh satu) hari dan berakhir hingga dimulainya Masa Tenang.
Isi Pasal 287 adalah sebagai berikut:
- Pemberitaan, penyiaran, dan iklan Kampanye pemilu dapat dilakukan melalui media massa cetak, media daring (online), media sosial, dan lembaga penyiaran sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.
- Pemberitaan, penyiaran, dan iklan Kampanye pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam rangka penyampaian pesan Kampanye Pemilu oleh peserta Pemilu kepada masyarakat.
Isi Pasal 492 adalah sebagai berikut:
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan Kampanye Pemilu di luar jadwal yang telah ditetapkan oleh KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota untuk setiap Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 276 ayat (2), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
Isi Pasal 493 adalah sebagai berikut:
Setiap pelaksana dan/atau tim Kampanye Pemilu yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 287 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
Dalam pasal 287 ayat 5 disebutkan bahwa media massa cetak, media daring, media sosial, dan lembaga penyiaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selama masa tenang dilarang menyiarkan berita, iklan, rekam jejak peserta pemilu, atau bentuk lainnya yang mengarah pada kepentingan kampanye pemilu yang menguntungkan atau merugikan peserta pemilu.
Dalam konteks ini, penting untuk memastikan keberlangsungan fungsi hukum yang didasarkan pada kepastian hukum serta keadilan. Jika sutradara/produsen dan para pengisi acara film dokumenter Dirty Vote dilaporkan, disidik, dan diadili atas tuduhan pelanggaran pemilu selama masa tenang, langkah tersebut tidak sesuai dengan yurisdiksi hukum yang tepat. Hal ini seharusnya menjadi ranah yang ditangani oleh Bawaslu terlebih dahulu, karena bukan merupakan pelanggaran dalam ranah hukum yang tercakup dalam UU KUHP maupun UU ITE, melainkan terkait dengan ketentuan khusus yang diatur dalam UU Pemilu.
Oleh karena itu, penyidik Polri seharusnya mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP.3), seperti yang pernah mereka terbitkan terhadap Sukmawati Soekarno Putri pada tahun 2008 atas laporan dari Bawaslu.
Alasan hukum dari pihak Polri terkait kasus Sukmawati Soekarno Putri mencakup bukti adanya ijazah SMA palsu yang digunakan, yang tidak pernah digunakan oleh Sukmawati (palsu) yang asli. Selain itu, argumen yang dibawa ke muka dalam debat publik, yakni bahwa penggunaan ijazah palsu terkait dengan kepentingan Pemilu sesuai dengan Undang-Undang Pemilu yang berlaku saat itu, yaitu Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Sementara itu, dalam kasus Kaesang Pangarep, Ketua Umum PSI dan anak dari Presiden RI Jokowi, diduga melakukan pelanggaran pada hari pertama masa tenang dengan mengunggah foto-foto kampanye. Tindakan ini, meskipun berbeda dalam konteks pasal yang melibatkannya, menimbulkan pertanyaan tentang konsistensi penegakan hukum antara dua kasus tersebut.
Oleh karena itu, tindakan hukum yang akan diambil oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI terhadap Kaesang harus mencerminkan kualitas hukum yang sama dengan tindakan terhadap produsen film dokumenter Dirty Vote, baik dalam proses maupun dalam penegakan hukumnya. Penting untuk menghindari tebang pilih dalam penegakan hukum, sesuai dengan prinsip equality before the law yang diatur dalam sistem konstitusi dasar NRI (rule of law).
Dari perspektif asas-asas hukum pidana, meskipun tidak ada subjek pelapor atau pengaduan terhadap Kaesang, Bawaslu harus segera memproses laporannya ke penyidik Polri. Hal ini perlu dilakukan sebelum pelanggaran masuk dalam masa kadaluwarsa yang hanya berlangsung selama 14 hari. Mengingat pelanggaran yang dilakukan oleh Kaesang Pangarep Bin Joko Widodo merupakan perbuatan delik pidana formil yang tidak memerlukan bukti akibat, serta bukan merupakan delik aduan.