Jakarta, Fusilatnews — Suara ledakan terdengar keras dari arah masjid SMA Negeri 72 Jakarta, Jumat pagi, 7 November 2025. Asap putih membumbung dari atap seng, diikuti teriakan siswa yang berhamburan keluar dari ruang kelas. Beberapa di antara mereka menangis panik. Di pelataran sekolah, sandal-sandal tercecer, mukena berserakan, dan pecahan kaca berserak di lantai masjid.
“Awalnya kami kira tabung gas meledak,” ujar Rizky Maulana, siswa kelas XII yang sedang berwudu saat suara dentuman itu terdengar. “Tapi setelah asap reda, kami lihat ada serpihan besi dan kabel berserakan di sekitar tempat imam.”
Polisi datang sekitar sepuluh menit kemudian. Garis kuning segera membentang di pintu masjid. Tim Gegana dari Brimob menyisir lokasi hingga petang, memastikan tak ada bahan peledak tersisa. Dari hasil olah tempat kejadian perkara, polisi menemukan paku, serbuk mesiu, dan potongan pipa logam berdiameter 5 sentimeter—bahan yang lazim digunakan untuk merakit bom rakitan skala kecil.
Remaja 17 Tahun dan Dunia Gelap Internet
Penyelidikan berlanjut hingga Sabtu malam. Aparat kepolisian mengamankan seorang pelajar laki-laki berusia 17 tahun, sebut saja A.R., siswa kelas XI. Dari rumahnya di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara, polisi menemukan sejumlah bahan kimia yang biasa digunakan untuk eksperimen sains—dan sebagian di antaranya tergolong bahan peledak jika dicampur dalam komposisi tertentu.
Kepala Polda Metro Jaya Irjen Karyoto menyebut, A.R. diduga kuat merakit bom itu sendiri dengan panduan dari internet. “Kami menemukan riwayat pencarian di laptop dan gawainya terkait perakitan bahan peledak, serta tautan menuju forum daring tertutup,” kata Karyoto dalam konferensi pers di Mapolda Metro Jaya, Senin (10/11).
Dari hasil interogasi awal, A.R. mengaku merakit perangkat itu “hanya untuk eksperimen.” Namun polisi belum menutup kemungkinan motif ideologis di balik tindakannya. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) turun tangan untuk menelusuri potensi keterkaitan dengan jaringan ekstremis yang menyasar remaja.
“Kami tidak bisa mengabaikan fakta bahwa pola radikalisasi kini menyusup lewat ruang digital yang mereka akses setiap hari,” ujar Deputi Pencegahan BNPT Ahmad Nurul Falah. “Remaja seperti A.R. bisa menjadi target empuk karena rasa ingin tahu yang besar, tapi tanpa pendampingan nilai.”
Alarm untuk Dunia Pendidikan
Kasus ini mengguncang komunitas pendidikan. Kepala sekolah SMA 72, Sri Wahyuni, mengaku kaget sekaligus tidak percaya. “Anaknya pendiam, tidak pernah membuat masalah, nilainya bagus,” katanya. “Tidak ada tanda-tanda bahwa ia menyimpan amarah atau pandangan ekstrem.”
Namun, di mata beberapa teman sekelasnya, A.R. dikenal sebagai remaja yang gemar bereksperimen di laboratorium. Ia kerap membawa komponen elektronik dan logam kecil ke sekolah. “Kami pikir dia cuma suka bikin alat sains,” ujar Rafi, teman sekelasnya. “Ternyata bahan-bahannya buat merakit bom.”
Psikolog pendidikan dari Universitas Indonesia, Dra. Rini Marlina, M.Psi, menilai peristiwa ini menjadi sinyal kegagalan sistem deteksi dini di sekolah. “Guru bimbingan konseling lebih banyak berurusan dengan nilai dan absensi ketimbang memahami perubahan psikologis anak,” katanya. “Padahal justru dari perubahan kecil—seperti penarikan diri, obsesi pada satu topik, atau kemarahan pada sistem—bisa terdeteksi bibit bahaya.”
Ruang Digital Tanpa Penjaga
Penelusuran Tempo menemukan bahwa dalam beberapa tahun terakhir, banyak forum daring yang menargetkan anak muda dengan kemasan edukatif. Forum-forum itu menawarkan “eksperimen kimia”, “pembuatan kembang api rumahan”, atau “bahan bakar alternatif” sebagai kedok. Namun di baliknya, terselip narasi ekstrem yang mendorong kebencian terhadap negara, otoritas, bahkan agama lain.
Data BNPT menunjukkan bahwa sejak 2022, lebih dari 27 persen pelajar SMA dan mahasiswa pernah terpapar konten radikal secara daring. Sebagian besar mengaksesnya melalui platform media sosial populer dan grup tertutup yang menggunakan bahasa sains atau agama sebagai selubung.
“Radikalisme hari ini tidak selalu datang dari ceramah,” kata Sociolog digital, Damar Juniarto. “Ia datang dari algoritma yang memanjakan rasa ingin tahu remaja, menjerumuskan mereka langkah demi langkah ke dunia yang lebih gelap.”
Negara Datang Terlambat
Sejak kasus ledakan itu, pemerintah mulai bicara tentang penguatan pengawasan. Kementerian Pendidikan menyebut akan meninjau kembali sistem keamanan di sekolah. Tapi, menurut pengamat pendidikan Najeela Shihab, pendekatan keamanan semata tak cukup. “Masalahnya bukan hanya akses bahan berbahaya, tapi ketidakhadiran sistem pendidikan yang mampu menumbuhkan empati, nalar kritis, dan literasi digital,” ujarnya.
Tempo mencatat, dalam sepuluh tahun terakhir, pemerintah lebih banyak mengeluarkan kebijakan administratif—perubahan kurikulum, sistem zonasi, asesmen nasional—ketimbang memperkuat fondasi moral dan pemikiran kritis pelajar.
Akibatnya, ruang pendidikan menjadi bising oleh data dan nilai, tapi miskin makna. Sementara di luar pagar sekolah, algoritma internet menawarkan jawaban instan bagi kegelisahan anak muda.
Ledakan yang Tak Boleh Terulang
Masjid SMA 72 kini masih ditutup untuk umum. Di dinding luar, masih tampak jelaga hitam bekas ledakan. Sementara di halaman sekolah, papan bunga berjejer, berisi doa dan simpati dari alumni serta masyarakat sekitar.
Beberapa siswa kini memilih salat di aula kecil. “Kami masih takut kalau masuk masjid itu,” kata seorang siswi dengan suara pelan.
Ledakan yang mengguncang masjid itu mungkin hanya terjadi beberapa detik. Namun dampaknya bisa berlangsung bertahun-tahun—meninggalkan trauma di antara murid, guru, dan orang tua.
“Yang paling menakutkan bukan bomnya,” kata Rizky, murid yang pertama kali mendengar dentuman itu. “Tapi sadar bahwa pelakunya teman sendiri.”
Ledakan itu telah usai. Tapi luka sosial yang ditinggalkannya masih berdenyut. Ia menjadi pengingat keras: bahwa di balik layar gawai seorang anak, bisa tersembunyi dunia gelap yang sedang belajar meledak—dan sistem pendidikan kita belum siap menahannya.


























