Negara tampaknya kian lihai mempermainkan ironi. Tahun ini, dua nama yang sejatinya berdiri di dua kutub moral sejarah Indonesia — Marsinah dan Soeharto — disandingkan dalam satu podium kehormatan: Pahlawan Nasional 2025.
Bagaimana mungkin? Pertanyaan itu seharusnya tak perlu dijawab, karena sejatinya nalar publik sudah cukup untuk menolak absurditas ini. Tapi negara tampaknya tengah berupaya memandulkan nalar itu.
Marsinah, seorang buruh perempuan muda dari Nganjuk, tewas dengan luka penyiksaan pada Mei 1993 setelah memperjuangkan hak-hak buruh di Sidoarjo. Ia bukan sekadar simbol perlawanan terhadap ketidakadilan, tapi juga representasi keberanian sipil di bawah tirani negara. Dan siapa penguasa tertinggi negara ketika itu? Soeharto.
Rezim yang dikomandani Soeharto-lah yang membungkam suara-suara seperti Marsinah. Aparat yang mengintimidasi, menculik, dan menghilangkan nyawa para aktivis bukanlah bayangan liar, melainkan bagian dari sistem kekuasaan yang dibangun atas nama stabilitas dan pembangunan. Maka, ketika keduanya kini diabadikan bersama sebagai pahlawan nasional, sejarah seolah dijungkirbalikkan oleh tangan resmi negara.
“Nalar publik,” kata aktivis HAM Hendardi, “mesti terus dijaga, sebab hal itu merupakan esensi utama republik.” Ia menambahkan, “Mana mungkin Marsinah dan Soeharto menjadi pahlawan pada saat yang bersamaan. Marsinah adalah aktivis buruh yang dihilangkan nyawanya oleh rezim pemerintahan saat itu yang dipimpin dan dikuasai sepenuhnya oleh Soeharto. Di sisi lain, kalau Soeharto dan pemerintahannya bersih, baik, dan tidak kejam kepada rakyat, tidak akan ada perlawanan sipil dan tidak mungkin terjadi reformasi politik 1998.”
Kata-kata Hendardi seperti cermin tajam yang menampar kewarasan bangsa. Negara yang menobatkan korban dan pelaku dalam satu deretan nama pahlawan sejatinya tengah memperlihatkan kebingungan moralnya sendiri. Apakah penghargaan ini bentuk rekonsiliasi? Atau justru bentuk pelupaan yang dibungkus dengan seremoni kebangsaan?
Kita tentu tidak pernah mempermasalahkan ketika Gus Dur diangkat sebagai pahlawan nasional. Ia pantas — pemersatu bangsa, penjaga pluralisme, dan pembela kemanusiaan. Tapi ketika Marsinah dan Soeharto disetarakan dalam derajat simbolik yang sama, negara seperti sedang kehilangan kemampuan membedakan hitam dan putih.
Pahlawan, dalam pengertian sejatinya, adalah mereka yang mengorbankan diri demi kemanusiaan, bukan mereka yang mengorbankan kemanusiaan demi kekuasaan.
Sementara itu, di antara upacara dan pidato kebangsaan, nisan Marsinah tetap sunyi di pojok tanah kelahirannya — dan mungkin, arwahnya sedang bertanya-tanya: di republik macam apa ia kini disebut pahlawan, sementara nama penguasa yang membuatnya lenyap turut diarak dalam kehormatan yang sama?
Apakah Anda ingin saya lengkapi dengan lead bergaya berita Tempo (agar lebih layak dimuat di rubrik opini majalah) atau tetap dalam format esai reflektif seperti ini?

























