Fusilatnews – Pada sebuah siang yang lengang di Jakarta Selatan, Denny Indrayana muncul lewat sebuah video pendek. Kemejanya santai, suaranya tenang, tapi ucapannya tajam seperti biasa: ia resmi bergabung sebagai kuasa hukum Roy Suryo dan para tersangka lainnya dalam perkara tuduhan ijazah palsu Presiden Joko Widodo. Kalimat-kalimat Denny mengalir mantap, mempertanyakan cara negara bekerja, dan menuding adanya “tindakan sok berkuasa” yang menurutnya perlu dilawan.
Bagi sebagian orang, pengumuman itu hanya satu tambahan nama dalam daftar panjang advokat yang berseliweran di panggung politik.
Namun bagi mereka yang mengikuti sepak terjang Denny Indrayana, langkah ini adalah alarm keras: sesuatu yang lebih besar sedang dipertaruhkan.
Jejak Sang Akademisi Gelisah
Sejak lama, Denny Indrayana dikenal sebagai akademisi yang tak pernah nyaman duduk diam. Ia keluar masuk ruang sidang, ruang akademik, ruang debat publik, dan lorong-lorong kekuasaan tanpa kehilangan karakter dasarnya: keras kepala pada prinsip.
Sebagai pakar hukum tata negara, mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM, dan aktivis yang sering muncul di titik paling bising dalam dinamika politik, Denny membawa reputasi yang sulit dipisahkan dari advocacy—membela apa yang ia lihat benar, meski itu menempatkannya di luar lingkar kekuasaan. Dalam dunia hukum yang sering kabur garis etiknya, ia tampil dengan sikap yang jarang: keras, sistematis, dan tak gentar menyebut penyalahgunaan wewenang apa adanya.
Ia bukan orang yang gampang digiring oleh arus politik. Justru ia lebih sering menjadi batu yang mengganggu aliran itu.
Masuknya Denny ke Kasus Roy Suryo
Keputusan Denny bergabung dalam tim kuasa hukum delapan tersangka isu ijazah palsu Jokowi bukan kerja rutin seorang advokat. Ia seperti menarik garis tebal di tengah lapangan hukum yang semakin kusut: menurutnya, perkara ini tak lagi menyangkut benar atau tidaknya sebuah ijazah, melainkan cara negara memperlakukan kritik.
Denny menyebut kriminalisasi. Ia menyebut pembungkaman. Ia menyebut penyalahgunaan instrumen hukum.
Dan ia menyebut semuanya dengan bahasa yang bersih, rapi, dan langsung menusuk sendi-sendi legitimasi aparat.
Dengan gaya khasnya—tenang namun memotong—Denny menempatkan kasus ini sebagai persoalan konstitusional. Ia membuka ruang analisis baru yang berbeda dari cara polisi mem-frame kasus ini sebagai “fitnah” atau “penyebaran informasi palsu.” Dalam narasi Denny, perkara ini adalah ujian—apakah hukum masih bekerja sebagai penegak keadilan, atau berubah menjadi senjata mainan kekuasaan.
Perkara yang Tiba-tiba Naik Kelas
Masuknya Denny mengubah tensi kasus. Perkara yang sebelumnya berada di ruang gelap percakapan daring mendadak terangkat ke ruang terang debat publik. Dari sekadar polemik di media sosial, kini ia berubah menjadi pertanyaan yang lebih mendalam: apakah negara sedang mempertahankan marwah hukum atau sekadar mempertahankan marwah seorang presiden?
Dengan Denny sebagai garda depan, kasus ini memantul menjadi cermin bagi penegak hukum. Polisi yang telah menetapkan delapan orang tersangka kini berhadapan dengan oposisi yang tidak hanya menguasai pasal, tapi menguasai wacana dan opini publik.
Dalam konteks itu, dukungan Denny tidak lagi terbaca sebagai sekadar pembelaan profesional. Ia menjadi penanda bahwa ada jurang yang melebar antara aparat penegak hukum dan persepsi publik tentang keadilan.
Pertarungan Narasi: Siapa Membungkam Siapa
Tempo selalu menyukai tokoh-tokoh yang bergerak di antara garis kuasa dan perlawanan. Dalam kasus ini, Denny tampil sebagai salah satunya.
Ia bukan sekadar membela Roy Suryo, Eggi Sudjana, dr. Tifa, atau nama-nama lain yang menempel dalam daftar tersangka. Ia sedang membela hak mereka—dan hak warga negara lain—untuk bertanya. Bahwa dalam demokrasi, meminta klarifikasi terhadap pejabat publik bukanlah kejahatan.
Bahwa mengkritik presiden bukanlah tindak kriminal.
Bahwa beropini bukanlah delik yang layak diborgol.
Dengan menempatkan diri di tengah badai politik ini, Denny Indrayana sedang menguji satu hal: apakah Indonesia masih punya ruang untuk suara kritis yang tidak disukai penguasa.
Pada Akhirnya, Ini Bukan Lagi Soal Ijazah
Jika mengikuti garis yang ditarik Denny, kasus ini pada akhirnya bukan soal dokumen pendidikan Jokowi. Ia soal bagaimana negara bereaksi terhadap kecurigaan, kritik, atau sekadar pertanyaan dari warganya.
Ia soal siapa yang berhak bicara, siapa yang dibungkam, dan siapa yang mengambil keuntungan dari keheningan.
Dalam kacamata itu, bergabungnya Denny Indrayana tidak sekadar memperkuat tim hukum Roy Suryo dan kawan-kawan. Ia menyalakan lampu sorot ke arah negara. Ia menantang aparat untuk bekerja dalam terang. Ia mengingatkan bahwa hukum adalah alat menjaga keadilan, bukan alat menjaga citra kekuasaan.
Kasus ijazah mungkin akan mereda. Sidang mungkin akan berjalan panjang. Namun langkah Denny telah mengubah medan:
perkara ini kini bukan lagi perkara delapan tersangka, tetapi perkara demokrasi yang sedang diuji.






















