Untungnya sebagai praktisi Media, saya berkesempatan dapat meliput, bagaimana PLTA Saguling dan Cirata, dibangun dari mulai perencanaan hingga gunting pita oleh Pak Harto, selama 6 tahun. Jadi sama lelahnya dengan para Insinyur kita, yang cekatan-cetakatan itu, siang malam bekerja merampungkan Mega Proyek tersebut. Singkat cerita sampai pada waktunya, ketika pintu bendung ditutup, kemudian air sungai Citarum mulai tergenang, kedua proyek itu selesai, sempat menitikan air mata, membayangkan beberapa Kampung dan Desa yang asri, elok nan mempesona itu, harus tergelam diguyur aliran sungai terbesar di Jawa Barat itu.
Dari aliran sungai citarum itu, terdapat Bendung PLTA Jatiluhur dihilir, Cirata di tengah dan Saguling di hulu, memproduksi ribuan megawatts listrik mensuplai seluruh Pulau Jawa.
Kedua Proyek tersebut, berjalan hampir tampa hambatan, dan didukung oleh rakyat yang rela direlokasi, bahkan di transmigrasikan ke pulau-pulau lain. Pengamatan saya, mengapa proyek itu berjalan mulus?. Melibatkan banyak ahli dari berbagai disiplin ilmu. Lebih dari itu, proyek ini, pun dikerjakan oleh kontraktor-kontraktor asing yang prosfesional, Nasional dan Board of consultant (BOC) dari world Bank.
Ada dua pekerjaan yang utama (Main development), yaitu membangun Bendungan untuk pembangkit listrik dengan ribuan Megawatts, dan kehidupan ekonomi baru bagi rakyat disekitar waduk (Secondary Development). Yang nanti akan diuraikan, hasil-hasilnya dari kedua proyek ini. Saat ini, setiap hari panen ikan dari dikedua Bendung itu, puluhan ton.
Saya tidak mau bicara kesoal teknikalnya, seperti model Two Cover Dams dan New Austrian Tunneling Method (NATM) untuk Power Housenya, tapi ingin mengupas aspek social ekonominya yg lebih dalam, menyoroti hasil Secondary Development kedua project tersebut.
Yang pertama, bagi masyarakat sekitarnya, Danau Saguling dan Cirata, adalah kehidupan baru. Perlu diperkenalkan, apa yg disebut dengan Aqua Culture. Budi daya di air. Paling klasik adalah memelihara ikan.
Kita dapat menerawang mata rantai ekonomi yang panjang dari sector pemeliharaan ikan di jaring terapung tersebut. Ikan perlu makan, lahirlah industri pakan. Insdustri Pakan perlu bahan baku, yang banyak ragamanya, dalam kuantitas ribuan ton setiap bulannya. Ikan yang dilempar kepasar, dikosumsi peminat-peminatnya, restoran membuat inovasi menu varian ikan mas, lele, nila, dll serta restoran di hotel-hotel, yang setiap hari memerlukan ratusan ton.
Yang lebih beruntung lagi, adalah kaum the have, mereka membangun real estate yang menghadap ke danau cantik yang luas enak di pandang.
Kumulatif dari itu semua, rakyat mendapat protein dan pemerintah mendapat pajak.
Nah pesan inilah, yang sedari awal dikomunikasikan kepada masyarakat sekitarnya oleh para Jupen-jupen dan Penyuluh Pertanian/Perikanan.
Yang menarik dari pembangunan kedua waduk tersebut adalah, bersahaja menyediakan kesempatan untuk rakyat kecil, sehingga bisa menikmati kedua mega proyek tersebut, yang kini sudah berkembang menjadi industri ikan.
Dari data yang ada, dari kedua waduk tersebut diproduksi, hampir 50.000 ton ikan per tahunnya.
Pesan dari tulisan ini adalah, bahwa ketika uang dari pinjaman luar negeri itu, digunakan dengan cara bijakasana seperti ini, maka yang akan diuntungkan adalah banyak pihak. Tidak menjadi beban Rakyat dan Pemerintah, tetapi justru sebaliknya, mensejahterakan rakyat.
Lalu, apa yang harus kita perbuat dengan kedua proyek tersabut?
Proyek tersebut hanya akan berfungsi bila air sungai Citarum tetap mengalir. Maka kewajiban semua pihak memelihara daerah aliran sungai tersebut dan menanam pohon yang banyak, supaya tetap menjadi sumber airnya.
Ini masalah besar Sungai Citarum, polusi air karena buangan limbah industry dan tidak terpeliharanya DAS (Daerah Aliran Sungai di Bandung Raya).