Oleh: Nazaruddin
Era Orde Baru (Orba) di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto kerap dipuji sebagai masa stabilisasi politik dan ekonomi. Namun, stabilitas tersebut sejatinya berdiri di atas pondasi otoritarianisme dan rekayasa politik yang sistematis. Kisah Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) menjadi salah satu bukti paling terang tentang bagaimana rezim ini mengebiri kekuatan politik independen—khususnya dari kalangan Islam—demi memastikan kelanggengan kekuasaannya sendiri. Perlakuan terhadap Parmusi adalah studi kasus klasik tentang bagaimana negara mencampuri urusan organisasi rakyat untuk membentuk peta politik sesuai selera penguasa.
Pintu Tertutup bagi Integritas: Penyingkiran Tokoh-Tokoh Kunci
Ketika umat Islam berupaya mendirikan Parmusi sebagai penerus Masyumi—partai besar yang dibubarkan pada era Soekarno—muncul harapan baru bagi kebangkitan politik Islam. Namun, harapan itu cepat padam di hadapan intervensi penguasa. Presiden Soeharto secara tegas menolak pengesahan kepengurusan Parmusi apabila di dalamnya terdapat tokoh-tokoh berpengaruh dari eks-Masyumi seperti Mohammad Natsir, Prawoto Mangkusasmito, dan Syafrudin Prawiranegara.
Nama-nama ini memiliki rekam jejak panjang, integritas tinggi, serta basis massa yang kuat—terlalu independen bagi rezim yang ingin semua elemen politik berada dalam orbit kekuasaannya. Bahkan ketika diajukan sosok yang dinilai lebih moderat seperti Mohammad Roem, penolakan tetap datang dari Istana. Pesan rezim sangat gamblang: tidak boleh ada pemimpin politik Islam yang mandiri, berpengaruh, dan sulit dikendalikan.
Kudeta Halus: Menyelipkan “Orang Istana” ke Pucuk Kepemimpinan
Meski penuh tekanan, proses pendirian Parmusi tetap berjalan. Dalam muktamar, para pendiri dan perwakilan daerah memilih Djarnawi Hadikusumo sebagai Ketua Umum yang sah. Pemilihan ini mencerminkan aspirasi internal partai dan semangat untuk membangun kemandirian politik Islam.
Namun kemenangan itu hanya sekejap. Pemerintah segera menolak hasil muktamar tersebut dan menggunakan tekanan politik serta perangkat keamanan untuk membatalkannya. Langkah puncaknya terjadi ketika Presiden Soeharto menunjuk Mohammad Saleh Mintaredja sebagai Ketua Umum Parmusi yang “resmi” versi pemerintah. Mintaredja bukan tokoh sentral dari garis perjuangan Masyumi ataupun Parmusi, namun ia dikenal dekat dan patuh terhadap kepentingan Istana. Dengan demikian, rezim berhasil memastikan bahwa pucuk pimpinan Parmusi ditempati sosok yang lebih loyal kepada penguasa daripada kepada aspirasi umat dan kader partai.
Warisan Trauma: Pembonsaian Politik Islam
Intervensi keras terhadap Parmusi meninggalkan luka dan dampak jangka panjang bagi peta politik Islam di Indonesia. Dengan menyingkirkan tokoh-tokoh independen dan menggantinya dengan figur yang dikendalikan, Orde Baru menciptakan kekosongan kepemimpinan berintegritas di parlemen. Kekuatan politik Islam dipreteli sejak dari akar hingga pucuk.
Langkah berikutnya adalah fusi paksa partai-partai Islam ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada 1973. PPP lahir bukan sebagai kekuatan politik yang solid, tetapi sebagai hasil kompromi paksa di bawah bayang-bayang kekuasaan. Dalam kondisi demikian, PPP tidak pernah benar-benar mampu menjadi oposisi efektif terhadap Golkar yang menjadi kendaraan utama Orde Baru.
Pengalaman pahit Parmusi menanamkan trauma politik mendalam. Banyak aktivis dan intelektual Islam kemudian menjauh dari politik praktis yang dianggap telah dimanipulasi sepenuhnya oleh negara. Energi perjuangan dialihkan ke ranah dakwah, pendidikan, dan gerakan sosial—wilayah yang dinilai lebih aman dari tekanan kekuasaan.
Melalui kasus Parmusi, sejarah Orde Baru menunjukkan bahwa stabilitas yang dibangga-banggakan bukanlah hasil kompetisi politik yang sehat, melainkan buah dari penjinakan sistematis dan pembonsaian terhadap kelompok-kelompok yang berpotensi menjadi penyeimbang kekuasaan. Parmusi bukan sekadar cerita masa lalu, tetapi pengingat penting tentang bagaimana negara dapat memandulkan demokrasi ketika kekuasaan dibiarkan tanpa kontrol.

Oleh: Nazaruddin





















