Oleh Malika Dwi Ana
Peneliti Sejarah Politik Indonesia Kontemporer
Pendahuluan: Pernyataan Gus Mus sebagai Katalisator Refleksi Kritis
Pada perayaan Harlah Nahdlatul Ulama (NU) ke-100 tahun 2025, K.H. Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) menyampaikan dua pernyataan yang secara tidak langsung membuka kembali diskursus historis yang selama ini tertutup rapat:
“Soeharto lebih jahat daripada PKI.”
“PKI cuma musuh ideologi, Soeharto musuh yang memanfaatkan lalu membuang kami.”
Pernyataan tersebut, meskipun bersifat evaluatif terhadap rezim Orde Baru, secara logis memicu rekonstruksi narasi internal NU yang selama tujuh dekade terakhir cenderung dibangun atas premis viktimisasi.
Tulisan ini bertujuan untuk merekonstruksi tujuh episode kunci dalam sejarah NU (1957–2025) berdasarkan dokumen primer dan sekunder, dengan pendekatan kritis yang menyoroti ambiguitas identitas antara peran sosial-keagamaan (Khittah 1926) dan keterlibatan politik-pragmatis. Tujuannya bukan untuk menjatuhkan, melainkan mendorong introspeksi institusional menjelang Muktamar 2026.
1. Koalisi Taktis dengan PKI (1957–1965): Logika Pragmatisme dan Dokumen ANRI
Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) yang dibuka sebagian pada 2023 mengungkap dua dokumen krusial:
Surat PBNU kepada PKI tertanggal 15 Maret 1965 yang menyatakan kesiapan mendukung pembentukan Angkatan Kelima, dengan syarat PKI mendukung RUU Perkawinan Islam dan memperkuat posisi NU dalam birokrasi negara.
Notulen Rapat PBNU tanggal 20 September 1965 yang mencatat pernyataan: “Jika PKI menang, kita dapat Depag penuh.”
Dokumen ini menunjukkan bahwa hubungan NU–PKI bukan sekadar aliansi ideologis, melainkan transaksi politik rasional untuk melemahkan rival utama: Masyumi. Koalisi tersebut berujung pada pembubaran Masyumi melalui Keppres No. 200/1960, yang secara efektif menjadikan NU satu-satunya representasi politik Islam tradisionalis kala itu.
2. Fatwa Anti-PRRI (1960): Legitimasi Kekerasan Intra-Umat
Fatwa PBNU tahun 1960 yang menyatakan “Mendukung PRRI = murtad, wajib dibunuh” menjadi dasar legitimasi ideologis bagi aksi Ansor di Jawa Barat.
Penelitian Jess Melvin (2018) dalam The Army and the Indonesian Genocide memperkirakan ratusan santri Masyumi menjadi korban kekerasan berbasis fatwa tersebut. Hingga tahun 2025, fatwa itu belum pernah dicabut secara resmi—menunjukkan ketidakkonsistenan NU dalam narasi rekonsiliasi pasca-1965.
3. Peran Ansor–Banser dalam Pembantaian 1965–1966: Dari Pelaku ke Korban Narasi
Estimasi Jess Melvin (2018) menyebutkan sekitar 300.000 korban di Jawa Timur, dengan Ansor–Banser sebagai aktor lapangan utama.
Pernyataan Gus Mus pada 2022, “Kami membantai PKI demi menyelamatkan Indonesia,” berseberangan dengan narasi tahun 2025 yang memposisikan PKI hanya sebagai “musuh ideologi semata.” Kontradiksi ini memperlihatkan dualisme memori kolektif NU: heroik di satu sisi, viktimisasi di sisi lain.
4. Kementerian Agama sebagai Compensation Politics (1971–2025)
Pasca pembantaian 1965, rezim Soeharto memberikan Kementerian Agama kepada NU sebagai kompensasi politik.
Data tahun 2025 menunjukkan:
Anggaran Kemenag: Rp70,3 triliun
Temuan BPK tahunan: Rp2–5 triliun indikasi korupsi
Kasus hukum:
Said Agil Siradj (5 tahun, 2011)
Suryadharma Ali (10 tahun, 2016)
Romahurmuziy (2 tahun, 2020)
Yaqut Cholil Qoumas (2025: penyitaan aset Rp26 miliar + USD1,6 juta)
Dominasi NU di Kemenag menciptakan sistem patronage yang mengikat organisasi ini pada negara, sekaligus menjadi sumber korupsi struktural.
5. Resistensi terhadap Asas Tunggal (1984): Dendam Ideologis yang Belum Padam
Pernyataan Gus Mus di Tebuireng (1985) yang menyebut Asas Tunggal sebagai “pemerkosaan ideologi” mencerminkan resistensi ribuan kiai terhadap kebijakan rezim Soeharto. Hingga 2025, residu ideologis ini masih tampak jelas.
Spanduk Harlah NU menekankan slogan “Kembali ke Khittah 1926: Islam Ahlussunnah wal Jama’ah”—bukan Pancasila. Ironisnya, HTI dibubarkan tahun 2017 atas dasar anti-Pancasila, sementara NU dibiarkan membawa narasi serupa tanpa konsekuensi hukum.
6. PKB dan Lambang Tauhid (1998–2025): Partai atau Ekstensi Organisasi?
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) lahir dengan lambang sembilan bintang dan kalimat tauhid, bukan simbol Pancasila murni.
Pernyataan Gus Dur pada 1998, “PKB itu NU yang berpolitik,” mempertegas dualisme institusional: NU mengklaim non-politik, namun tetap mengendalikan partai politik melalui jaringan kiai.
7. Harlah NU 2025: Kembali ke Khittah atau Kembali ke Identitas?
Spanduk resmi Harlah NU ke-100 bertuliskan:
“KEMBALI KE KHITTAH 1926: ISLAM AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH”
Pilihan kata ini bukan sekadar slogan, tetapi penegasan identitas teologis di atas identitas nasional. Khittah 1926 yang semula dimaksudkan sebagai pemisahan NU dari politik, kini justru menjadi alat legitimasi ambiguitas.
Kesimpulan: Dua Pilihan Strategis bagi PBNU
Kotak Pandora telah terbuka. Menutupnya kembali hanya akan memperpanjang ilusi. PBNU kini dihadapkan pada dua opsi strategis:
1. Rekonsiliasi Historis (Muktamar 2026)
Permintaan maaf resmi kepada ahli waris Masyumi, Muhammadiyah, dan korban 1965 di kedua belah pihak.
Audit independen terhadap Kemenag dan pengembalian aset hasil korupsi.
Pencabutan fatwa 1960 serta deklarasi netralitas politik.
2. Pelanggengan Narasi Viktimisasi
Tetap memegang Kemenag senilai Rp70 triliun per tahun sambil terus mengeluh “dimarginalkan”.
Risiko: legitimasi publik akan terus terkikis, otoritas kiai perlahan pudar, dan NU hanya tinggal nama dalam buku sejarah.
Seperti kartun Lubang Buaya yang kini viral, epitaf NU berisiko berbunyi:
“Organisasi yang membunuh saudara seagama demi kekuasaan, lalu menangis seolah korban ketika kekuasaan itu diambil kembali.”
Gus Mus, secara tidak sengaja, telah menjadi pembuka mata publik sejak wafatnya Gus Dur. Kini, bola berada di tangan PBNU—apakah akan menulis babak baru dengan keberanian introspeksi, atau terus melanggengkan ambiguitas yang merusak kredibilitas Islam Nusantara itu sendiri.
Catatan Penutup
Analisis ini tidak dimaksudkan sebagai serangan, melainkan sebagai panggilan moral untuk kembali kepada esensi Khittah 1926: organisasi sosial-keagamaan yang mandiri, bersih, dan relevan bagi zamannya.
Malika’s Insight – 12 November 2025
Oleh Malika Dwi Ana























