Oleh M Yamin Nasution – Pemerhati Hukum
Pendahuluan
Satu surah dalam Al-Qur’an yang mengajarkan manusia tentang teori dasar berpikir yang sangat baik adalah surah Al-Ashr (demi masa). Jika didalami, ayat ini mengajak kita untuk mengenal tiga hal dasar sebagai landasan berpikir, yaitu:
1. Pengetahuan yang sudah didapat hingga saat ini.
2. Rencana tindakan ke depan.
3. Kemanfaatan yang akan didapat dan diberikan.
Tiga hal tersebut berbicara tentang masa (waktu), baik yang sudah dilalui, sedang berlangsung, maupun yang akan datang dan mesti dipersiapkan.
Teori Berpikir Al-Ashr dalam Konteks Hukum
Dalam konsep pengetahuan hukum, Immanuel Kant bisa dikatakan sebagai tokoh yang menerapkan teori ini. Ia menggabungkan dua konsep filsafat, apriori dan posteriori, yang dikenal dengan metafisik. Kant menjabarkan suatu konsep hukum yang belum pernah terjadi dengan tujuan bagaimana hukum mampu melindungi masyarakat di masa depan, tanpa melupakan kejadian-kejadian alamiah dan mengembangkan pikiran hingga menembus masa ribuan tahun ke depan.
Contoh dari Pemikiran Kant
Salah satu yang diuraikan oleh Kant adalah konsep hukum pidana keadaan memaksa bersifat alamiah yang diatur dalam Pasal 48 KUHP Indonesia. Kant mengibaratkan dua orang yang berada di atas papan setelah kecelakaan kapal. Papan tersebut hanya mampu menopang satu orang. Jika seseorang ingin hidup, ia harus mendorong yang lain hingga jatuh ke laut dan mati, dengan pertanggungjawaban moral kepada Tuhan, atau ia tenggelamkan dirinya sendiri karena membunuh dengan alasan apapun tidak dibenarkan.
Jika salah satu membunuh yang lain, bagaimana hukum pidana memberlakukan pelaku? Pemikiran ini tidak lahir dari kejadian empiris, melainkan dari pemikiran imajiner yang bukan khayalan.
Kritik dan Pengembangan Teori
Pemikiran Kant banyak dikritik oleh para ahli hukum, termasuk Johann Anselm von Feuerbach yang melahirkan asas fundamental dalam hukum pidana yang dikenal dengan asas legalitas pada tahun 1801. Von Feuerbach tidak serta-merta membantah Kant, melainkan mengambil inspirasi dari dua gurunya, W.L. von Grolman dan Dr. Ch. Stübel. Stübel adalah orang yang pertama mengemukakan tentang konsep pengendalian masa depan dengan memberikan hukuman kepada pelaku.
Aplikasi di Indonesia
Dua pemikiran besar hukum yang bertentangan ini tumbuh dan berkembang dalam KUHP Indonesia dan KUHP Nasional yang belum mampu dibongkar oleh pemikir hukum Indonesia. Hal ini menyebabkan Pasal 48 KUHP sangat jarang digunakan oleh hakim dalam pertimbangan putusan selama Indonesia merdeka, menurut Prof. Dr. Suhandi Cahya. Sejauh penelitian saya sendiri, pasal ini tidak pernah digunakan sama sekali.
Apakah konsep yang diutarakan oleh Immanuel Kant tidak ada kejadian di Indonesia? Menurut saya, ada banyak kejadian tersebut, namun hukum belum mampu memberikan batasan-batasan yang mumpuni, karena kelemahan yang disebutkan oleh dua pemikir hukum di atas belum mampu diuraikan dengan baik. Banyak masyarakat telah kehilangan kehidupannya karena kekosongan hukum dalam melindungi mereka.
Refleksi dari Al-Qur’an
Al-Qur’an menceritakan 70-75 persen tentang sejarah kesalahan dan permasalahan terdahulu dengan tujuan agar pemeluknya mampu menghindari hal buruk tersebut, membawa kebaikan saat ini dan di masa mendatang dengan antisipasi.
Pepatah hukum Jerman mengatakan: “Hukum baru bagaimana hukum lama dipahami.” Pepatah ini menjadi landasan bagi pemikir hukum Belanda terdahulu seperti A. Vinto dan lainnya. Dengan mempelajari kesalahan konsep hukum pidana Prancis terdahulu, Belanda memutuskan untuk tidak menggunakan tafsir hukum Prancis melainkan tafsir hukum Jerman sebagaimana yang disebutkan oleh A.I van Deinse pada tahun 1832.
Penegakan hukum dan keadilan di Indonesia buruk dan rendah karena konsep hukum yang juga buruk dan rendah. Tahun 1840, Von Sauvigny memberlakukan aturan tentang metode bahasa tafsir hukum hingga kini masih berlaku, sedangkan hakim di Indonesia bebas menggunakan metode penafsiran.
Kesimpulan
Dua hal tersebut adalah gerbang korupsi, kesewenang-wenangan, dan ketidakadilan. Asas excepcio firmat regulam diserahkan kepada pribadi-pribadi setiap penegak hukum untuk memberikan kemanfaatan lebih bagi terdakwa jika tafsir hukum abstrak dan tidak jelas. Namun, von Sauvigny, Kant, dan von Feuerbach menyadari bahwa kepastian tidak dapat disandarkan kepada orang per orang yang memiliki keterbatasan pikiran, pengetahuan, dan sulit lepas dari ideologi pribadi dan politik.
Teori dasar berpikir Al-Ashr adalah dasar yang baik untuk digunakan dalam ilmu hukum apapun, baik tatanegara, pidana, maupun perdata, untuk menjangkau persoalan-persoalan yang akan dihadapi di masa mendatang. Frasa وَتَوَاصَوۡا بِالصَّبۡرِ (kesabaran) pada kalimat akhir ayat ini tidak dimaksudkan untuk pasrah dan menunggu, melainkan didahului dengan bentuk aktif, yaitu suatu kegiatan besar (kata kerja).