Fusilatnews – Pernyataan Mantan Presiden Joko Widodo, “Saya hanya melaporkan situasi, tidak menyebut nama-nama,” terdengar ringan di telinga, tapi sarat makna di kepala. Di balik kalimat yang seolah sederhana itu, terselip upaya menjaga jarak dari tanggung jawab moral dan politik atas langkah hukum yang belakangan mencuat—penetapan delapan tersangka oleh kepolisian.
Sejak awal, Jokowi tampak ingin menegaskan bahwa dirinya tak ikut menentukan siapa pun sebagai pelaku. Namun, siapa yang percaya bahwa pernyataan seorang presiden kepada aparat penegak hukum hanyalah “laporan situasi”? Dalam politik Indonesia, kalimat seorang presiden bukan sekadar informasi—ia bisa menjadi sinyal, bahkan perintah tanpa kata perintah.
Kepolisian boleh saja menyebut penetapan delapan tersangka sebagai hasil penyelidikan murni, tapi publik tentu tahu arah angin tak pernah bertiup tanpa sebab. “Situasi” yang dilaporkan Jokowi menjadi pelatuk, dan polisi sekadar menarik pelatuk itu. Maka, ketika ia kini berusaha berkelit, publik seperti melihat seseorang yang sudah menyiapkan tameng sebelum pertempuran dimulai.
Jokowi tahu cara mengatur narasi. Ia pandai menempatkan diri sebagai pengamat, bukan pelaku; pemberi sinyal, bukan pengendali; penyampai fakta, bukan pemantik tindakan. Itulah bentuk kelicinan politik yang membuatnya bertahan begitu lama di puncak kekuasaan: selalu berada di tengah, tapi tak pernah benar-benar netral.
Namun publik juga tahu, dalam politik Indonesia, “melaporkan situasi” bisa berarti “menunjuk arah”. Dan ketika arah itu berujung pada penetapan delapan tersangka, yang disebut tak disebut, sebenarnya sudah jelas siapa yang dimaksud.
Bahasa Kekuasaan: Seni Menghindar di Balik Kepatuhan
Jokowi selalu bermain di ruang abu-abu: antara perintah dan laporan, antara kepedulian dan keterlibatan. Ia kerap menampilkan diri sebagai sosok yang patuh pada hukum, tapi di saat bersamaan, bahasa yang dipilihnya menggiring aparat untuk bergerak ke arah tertentu. Inilah seni menghindar di balik wajah patuh itu—politik dalam bentuk paling halus: kendali tanpa jejak.
Di mata publik, manuver semacam ini tak lagi mengejutkan. Sejak awal masa jabatannya, Jokowi membangun reputasi sebagai pemimpin yang gemar “mengalihkan tanggung jawab” dengan kalimat yang tampak sederhana. Dari urusan pangan, proyek IKN, hingga dinamika politik nasional, selalu ada satu benang merah: “Saya hanya menyampaikan.”
Padahal, di balik setiap “saya hanya menyampaikan,” ada konsekuensi yang bergerak. Aparat bereaksi, kebijakan berubah arah, dan orang-orang di bawahnya memahami makna diam-diam yang tak tertulis di notulen rapat. Jokowi tak perlu memberi instruksi eksplisit—cukup dengan “laporan situasi”, sistem akan membaca sendiri maksudnya.
Bahaya Politisasi Hukum
Dalam negara yang sehat, pemisahan antara kekuasaan eksekutif dan penegakan hukum adalah syarat utama agar keadilan hidup. Namun, ketika seorang presiden bisa “melaporkan situasi” dan hasilnya adalah tindakan hukum yang sejalan dengan arah politiknya, maka di situlah politisasi hukum menemukan wajahnya yang paling halus—dan paling berbahaya.
Bahaya itu bukan hanya pada hasil akhirnya, melainkan pada pembiasaan publik terhadap gaya kepemimpinan yang mengaburkan batas antara pengaruh dan perintah. Rakyat dipaksa percaya bahwa presiden tak ikut campur, padahal efek dari kalimatnya lebih kuat dari telegram perintah mana pun.
Kesimpulan: Mengatur Persepsi, Menghindari Tanggung Jawab
Ngeles sejak dini bukan sekadar strategi bertahan, melainkan refleksi dari watak politik yang dibangun bertahun-tahun. Jokowi memoles citra dengan kesederhanaan, tapi di balik kesederhanaan itu tersembunyi kelicikan yang sistematis: mengatur persepsi publik agar tampak bersih, sementara tangan kekuasaan tetap bekerja di balik layar.
Dalam dunia politik yang kian terang benderang, Jokowi masih bermain di bayang-bayang: tak menyebut nama, tapi semua tahu siapa yang ia maksud. Tak memberi perintah, tapi semua tahu ke mana arah angin bertiup.
Dan di situlah, bahasa menjadi alat paling ampuh untuk mengendalikan kebenaran—dan meloloskan diri darinya.


























