Fusilatnews – Di negeri yang tata hukumnya kerap lentur terhadap popularitas, tidak ada yang benar-benar mustahil. Bahkan dari balik jeruji, seorang figur publik masih bisa tampil di layar, tersenyum di depan kamera, mempromosikan produk, dan menyapa penggemar seolah kebebasan hanyalah sekat tipis yang bisa dinegosiasikan. Peristiwa kemunculan Nikita Mirzani dalam sebuah siaran langsung promosi produk dari Rumah Tahanan (Rutan) bukan sekadar “hal biasa” — ini adalah tamparan keras bagi logika hukum dan moral publik.
Kuasa hukum Nikita, Galih Rakasiwi, berkelit dengan tenang: “Itu difasilitasi oleh pihak rutan.” Ucapan yang terdengar ringan, tapi justru mengguncang sendi keadilan. Sebab, jika benar demikian, artinya negara — lewat institusi pemasyarakatan — telah menyediakan panggung bagi bisnis pribadi seorang tahanan.
Pertanyaannya sederhana tapi menohok: sejak kapan negara membuka layanan endorsement di balik jeruji?
Dalam sistem pemasyarakatan, fasilitas komunikasi diberikan bukan untuk komersialisasi, melainkan untuk menjaga hak asasi tahanan: berhubungan dengan keluarga, penasihat hukum, atau urusan kemanusiaan yang sah. Ketika fasilitas itu berubah fungsi menjadi medium bisnis, maka yang lahir bukan lagi rehabilitasi, melainkan komodifikasi — di mana ruang tahanan berubah menjadi studio, dan hukum tampil sebagai penonton yang pasif.
Kita patut bertanya: di mana letak keadilan ketika seorang tahanan bisa tetap berjualan, sementara warga biasa yang menunggak pajak sebulan saja diserbu surat penagihan? Di mana rasa malu institusi ketika ruang yang seharusnya menjadi tempat perenungan justru dijadikan ajang promosi barang?
Fenomena ini menunjukkan betapa negara tampak rapuh di hadapan popularitas. Ada semacam “diskresi sosial” yang diberikan kepada figur publik: aturan bisa ditekuk, fasilitas bisa disulap, dan moral bisa dinegosiasikan. Rutan yang seharusnya menjadi simbol keterbatasan berubah menjadi panggung kebebasan yang semu.
Sebuah absurdity of privilege yang menelanjangi wajah ketimpangan penegakan hukum di Indonesia.
Lebih jauh, kasus ini membuka borok lain: lemahnya pengawasan internal di lembaga pemasyarakatan. Jika benar pihak rutan memberikan izin, maka persoalannya bukan lagi pada Nikita, melainkan pada institusi negara yang membiarkan hukum dipermainkan. Sebab di balik setiap izin yang diberikan tanpa dasar, selalu ada potensi “transaksi” — entah berbentuk uang, pengaruh, atau sekadar kenikmatan di lingkaran kekuasaan kecil bernama birokrasi penjara.
Kita tidak sedang membicarakan satu orang selebritas. Kita sedang membicarakan rusaknya garis batas antara keadilan dan keistimewaan. Antara tahanan dan selebritas. Antara penegakan aturan dan kekaguman terhadap nama besar.
Dan selama negara masih tunduk pada gemerlap popularitas, jangan heran bila nanti kita menyaksikan hal yang lebih absurd: seminar motivasi dari balik sel, atau mungkin siaran live shopping bertajuk “Diskon dari Rutan.”
Hukum seharusnya menjadi pagar moral, bukan pagar yang berlubang bagi mereka yang punya nama.


























