Oleh Prihandoyo Kuswanto
Ketua Pusat Studi Kajian Rumah Panva Sila
Amandemen UUD 1945 telah membawa perubahan mendasar terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia. Sayangnya, perubahan itu dilakukan oleh orang-orang yang, menurut saya, tidak sepenuhnya memahami hakikat negara berdasarkan Pancasila.
Dalam sistem kenegaraan yang berpijak pada Pancasila, Pancasila menempati posisi tertinggi sebagai Staatsfundamentalnorm — norma dasar negara. Ia bukan sekadar ideologi, melainkan sumber dari segala sumber hukum. Ketika prinsip ini tidak lagi dipahami, maka arah bernegara pun bergeser dari jati dirinya.
Para pengubah konstitusi mengatakan bahwa dalam UUD 1945 tidak terdapat konsep Hak Asasi Manusia (HAM) dan tidak mengenal Pemilihan Umum (Pemilu). Pandangan ini keliru. Memang benar, UUD 1945 tidak mencantumkan istilah “HAM” secara eksplisit, karena Deklarasi HAM PBB baru lahir pada 1948, sementara UUD 1945 disahkan tiga tahun sebelumnya.
Namun, apabila para pengamandemen memahami Pancasila secara utuh, mereka akan sadar bahwa sila kedua, “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab,” merupakan dasar dari seluruh gagasan tentang hak asasi manusia. Bahkan, Indonesia adalah satu-satunya negara yang dalam pembukaan konstitusinya menegaskan bahwa penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena bertentangan dengan “Peri Kemanusiaan dan Peri Keadilan.” Itulah bentuk awal dari pengakuan HAM yang sejati — bukan hasil pinjaman dari Barat, tetapi lahir dari nurani bangsa sendiri.
Demikian pula mengenai Pemilu. Mereka yang menganggap UUD 1945 tidak mengenal Pemilu sesungguhnya tidak memahami bahwa sistem demokrasi Pancasila adalah sistem permusyawaratan dan perwakilan. Dalam sila keempat ditegaskan: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.”
Artinya, mekanisme kedaulatan rakyat dalam negara Pancasila bukanlah Pemilu liberal yang berorientasi pada suara terbanyak, melainkan permusyawaratan yang berlandaskan kebijaksanaan dan keadilan. Karena itu, penerapan sistem Pemilu seperti yang dijalankan sekarang ini dapat dipandang sebagai bentuk penyimpangan terhadap prinsip dasar Pancasila.
Jika Pancasila benar-benar diakui sebagai sumber dari segala sumber hukum, maka setiap sistem politik, termasuk Pemilu, harus tunduk pada nilai-nilai Pancasila. Ketika sistem itu justru bertentangan dengan Pancasila, maka secara moral dan filosofis, Pemilu kehilangan legitimasi — tidak sah dalam kerangka hukum tertinggi bangsa.
Oleh sebab itu, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) perlu menjawab satu pertanyaan mendasar: apakah Pancasila masih diakui sebagai Staatsfundamentalnorm dan ideologi negara?
Jika jawabannya “tidak”, maka keberadaan BPIP menjadi kehilangan makna. Sebab lembaga itu hanya relevan bila Pancasila tetap ditempatkan sebagai dasar dan sumber hukum tertinggi dalam seluruh aspek kehidupan bernegara.
Oleh Prihandoyo Kuswanto
























