Damai Hari Lubis-Pengamat Hukum & Politik Mujahid 212.
Berita yang dipublikasikan kemarin, Senin, 25 Februari 2024, oleh berbagai media, terkait pernyataan Yakut yang dikenal sebagai “berpikiran moderat”, mengenai wacana menjadikan Kantor Urusan Agama (KUA) sebagai tempat pernikahan bagi semua penganut agama.
Dalam hal ini, Yakut sebaiknya tidak sembarangan dalam memberikan pernyataan, karena segala permasalahan terkait memiliki kewenangan KUA. Hal ini erat kaitannya dengan Undang-Undang tentang Perkawinan, yakni Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, bersamaan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
Tentunya, tidak kalah penting untuk mempertimbangkan apakah kalangan umat Muslim, sebagai golongan mayoritas, akan menyetujuinya.
Penting untuk diingat bahwa kedua sistem hukum tersebut mencakup segala hal yang berhubungan dengan pernikahan, hibah, wakaf, infaq/sedekah, termasuk wasiat, perceraian, waris, perekonomian syariah, dan lain sebagainya. KUA, sesuai norma yang ada di dalamnya, secara khusus ditujukan untuk mengatur pernikahan sesama pria dan wanita Muslim. Namun, jika terjadi sengketa, perceraian, atau tuntutan lain yang berasal dari hak dan kewenangan yang berasal dari KUA, maka konsekuensi hukum dan proses hukumnya menjadi wewenang badan peradilan di Pengadilan Agama.
Maka, inisiatif Yakut dari sudut pandang sistem hukum jelas akan mengganggu landasan hukum nasional. Ambisi liberalisme dengan dalih demokratisasi ala Yakut, yang ingin menerapkan metode pemikiran moderat, akan membawa konsekuensi biaya yang tinggi. Keuangan negara akan semakin terbebani karena perlu dilakukan perubahan pada beberapa sistem hukum hanya karena gagasan individual seorang Yakut yang kontraproduktif. Hal ini juga dapat menyebabkan tumpang tindih kewenangan pengadilan antara Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama, serta potensial menyimpang dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa wacana Yakut untuk menjadikan Kantor Urusan Agama sebagai tempat pernikahan bagi semua pemeluk agama harus melewati proses konstitusional, yaitu melalui proses legislatif di DPR RI dan eksekutif oleh Presiden RI. Selain berdampak finansial yang signifikan, gagasan tersebut juga kontroversial karena menantang landasan hukum yang ada dan berpotensi menimbulkan konflik serta ketidakpastian hukum.
Sekali lagi, dalam menyampaikan narasi wacana, sebaiknya Yakut menghindari penyampaian yang sembarangan sehingga terkesan kurang teratur dan tidak terkendali. Yakut sebaiknya tidak terlihat menganggap entitas seperti Kementerian Agama sebagai aset miliknya pribadi, dan menghindari sikap yang terkesan sewenang-wenang dalam memutuskan kepentingan golongan umat mayoritas. Penting untuk mengingat bahwa posisi dan tanggung jawabnya sebagai pemangku kebijakan harus dilakukan dengan penuh pertimbangan dan tanggung jawab terhadap kepentingan seluruh masyarakat, tanpa memihak pada kepentingan pribadi atau golongan tertentu.