Di tengah gemuruh politik Indonesia yang penuh dengan intrik dan manuver, kita menyaksikan suatu dinamika yang seakan mengaburkan garis antara lawan dan kawan. Politik telikung, istilah yang tepat untuk menggambarkan strategi politik yang penuh tipu daya dan pengkhianatan, kembali menjadi sorotan. Contohnya adalah ketika Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Nasdem, yang tergabung dalam Koalisi AMIN (Anies-Muhaimin), tiba-tiba berbalik arah dan bergabung dengan Koalisi Indonesia Maju setelah Prabowo Subianto meraih kemenangan dalam Pilpres.
Ketika PKB dan Nasdem awalnya berdiri sebagai lawan sengit Gerindra, yang mengusung Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, tak ada yang menyangka bahwa hasil akhirnya akan begitu dramatis. Setelah Prabowo memenangkan Pilpres, kedua partai tersebut dengan cepat mengubah haluan politik mereka dan bergabung dengan koalisi pemenang. Langkah ini menegaskan bahwa dalam politik Indonesia, kepentingan pragmatis sering kali mengalahkan prinsip.
Fenomena politik telikung ini tidak hanya terjadi di tingkat nasional, tetapi juga merambah ke ranah Pilkada. Ironisnya, dalam pemilihan Gubernur, calon yang diusung justru berasal dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI), partai yang gagal memenuhi ambang batas parlemen (parliamentary threshold) sebesar 4%. PSI, meskipun gagal dalam Pemilu, berhasil menyusupkan calonnya melalui berbagai manuver politik yang cerdik, menunjukkan bahwa kekuatan politik tidak selalu ditentukan oleh jumlah kursi di parlemen, tetapi oleh kemampuan untuk berstrategi dan memanfaatkan celah.
Lebih jauh lagi, kita melihat bagaimana dua kandidat Wakil Presiden untuk Gibran dan calon Gubernur untuk Kaesang, yang awalnya tidak memenuhi syarat, justru berhasil lolos setelah adanya perubahan aturan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA). Keputusan ini mengundang kontroversi dan menunjukkan bagaimana hukum dan aturan bisa diubah untuk memenuhi kepentingan politik tertentu. Dalam konteks ini, kita melihat bagaimana hukum sering kali menjadi alat yang lentur, yang bisa dibengkokkan sesuai kebutuhan politik penguasa.
Politik edan-edanan, itulah istilah yang tepat untuk menggambarkan situasi ini. Fenomena ini menunjukkan betapa rapuhnya sistem politik di Indonesia, di mana kesetiaan dan prinsip mudah tergadai demi kekuasaan dan kepentingan jangka pendek. Tidaklah mengherankan jika banyak pihak merasa bahwa politik di Indonesia jauh dari standar yang seharusnya dipegang oleh negara yang berperadaban tinggi.
Di negara-negara dengan peradaban politik yang matang, transparansi, konsistensi, dan integritas adalah nilai-nilai yang dijunjung tinggi. Namun, di Indonesia, politik sering kali dipenuhi dengan manuver-manuver licik dan pengkhianatan yang membuat masyarakat sulit untuk mempercayai sistem yang ada. Kita berharap bahwa di masa depan, politik Indonesia bisa bertransformasi menjadi lebih bersih dan berintegritas, di mana kepentingan rakyat benar-benar menjadi prioritas utama.