Fusilatnews – Hari Pahlawan datang lagi. Negeri ini mendadak jadi khusyuk. Para pejabat berbaris di bawah terik matahari, menunduk seolah mengenang jasa pahlawan, padahal mungkin sedang mengenang proyek yang belum cair.
Upacara berlangsung khidmat. Doa dibacakan, bunga ditabur, kamera menyorot wajah-wajah yang penuh duka cita nasional. Lalu begitu acara usai, tabur bunga berubah jadi tawur—tawur korupsi duit rakyat. Dari taman makam pahlawan pindah ke taman anggaran, dari bunga ke bunglon: wajah berubah, niat pun kembali ke habitat aslinya.
Kita memang bangsa yang pandai bermain peran. Setiap 10 November, semua bicara tentang perjuangan dan pengorbanan. Tapi sehari kemudian, semua kembali berjuang untuk rebutan proyek dan pengorbanan anggaran. Pahlawan dulu menumpahkan darah, kita sekarang menumpahkan dana.
Watak kepahlawanan kini tinggal kenangan. Ia tak mati mendadak, melainkan digadai sedikit demi sedikit oleh generasi yang menganggap kejujuran itu barang mewah. Dulu orang berjuang demi bangsa, sekarang orang berjuang demi jabatan. Dulu mereka rela lapar asal rakyat kenyang, kini rakyat harus lapar agar pejabat tetap kenyang.
Hedonisme sudah jadi ideologi. Ukuran keberhasilan bukan lagi jasa, tapi gaya hidup. Yang dielu-elukan bukan orang yang berani melawan penindasan, melainkan yang berani tampil mewah di depan kamera sambil bicara tentang “integritas.”
Celakanya, korupsi bukan lagi musuh bangsa. Ia sudah jadi adat, jadi kebiasaan, jadi pengetahuan umum. Semua tahu, tapi pura-pura tak tahu. Yang kecil kena sanksi, yang besar dapat posisi. Negeri ini seperti punya keadilan model baru: semakin tinggi pangkat, semakin ringan hukuman.
Kita ini bangsa yang pandai bersandiwara. Di kantor-kantor pemerintahan, foto Soekarno dan Hatta tergantung megah di dinding, tapi semangat mereka tergantung entah di mana. Di sekolah, anak-anak dipaksa hafal nama pahlawan, tapi tak pernah diajarkan untuk jadi manusia berani. Di rumah, orang tua lebih sibuk menabung untuk liburan ketimbang menanam nilai-nilai kejujuran.
Kita memperingati Hari Pahlawan seperti orang memperingati ulang tahun mantan—penuh basa-basi tapi tanpa makna. Selama satu hari kita pura-pura khidmat, setelah itu kembali sibuk dengan urusan perut. Kita menangis di depan makam pahlawan, lalu menertawakan rakyat yang miskin di meja rapat.
Ironinya, setiap tahun kita mengulang lakon yang sama: tabur bunga, pidato, dan lupa. Tak ada refleksi, tak ada perbaikan, hanya seremonial yang makin mewah tapi makin hampa. Padahal, yang dibutuhkan bangsa ini bukan karangan bunga, melainkan keberanian untuk berhenti menipu diri sendiri.
Kalau begini terus, cepat atau lambat kita perlu mendirikan taman makam baru, bukan untuk jasad para pahlawan, tapi untuk watak kepahlawanan bangsa.
Di gapuranya kelak tertulis:
“Di sini dimakamkan jiwa bangsa yang dulu gagah berani, kini sibuk menjarah sesama.”
Dan di bawahnya, mungkin ada catatan kecil:
“Tolong jangan tabur bunga lagi — taburlah akal sehat, siapa tahu masih bisa tumbuh.”

























