Jakarta, Fusilatnews – Mardiono hendak didepak dari kursi Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Muktamar Luar Biasa (MLB) pun sudah didesakkan. Tahun ini juga. Selambatnya September. Mestinya tahun depan.
Sandiaga Uno sudah lebih dulu terdepak. Kursi Ketua Badan Pemenangan Pemilu melayang. Keduanya dianggap paling bertanggung jawab atas keterpurukan PPP di Pemilu 2024 sehingga gagal lolos ke Senayan.
Di Pemilu 2024, PPP hanya berhasil meraih 5.878.777 suara atau 3,87 persen. Kurang 0,12 persen dari ambang batas parlemen atau perlianment threshold 4 persen.
PPP pun kembali mendapat semacam kutukan: konflik demi konflik yang tak kunjung berkesudahan. Bahkan kutukan Sisifus.
Lalu, apa itu kutukan Sisifus?
Adalah Albert Camus (1913-1960), sastrawan eksistensialis asal Prancis, yang pada 1942 menulis “Le Mythe de Sisyphe” (Mitos Sisifus).
Sisifus adalah tokoh dalam mitologi Yunani yang dikutuk untuk selama-lamanya mengulangi tugas yang sia-sia, yakni mendorong batu ke puncak gunung. Namun ketika hendak mencapai puncak, batu itu menggelinding jatuh kembali. Sisifus pun harus mengulangi pekerjaan mendorong batu itu ke puncak, lalu jatuh lagi, lalu dorong lagi, begitu seterusnya.
Partai Perseteruan
Lahir pada 5 Januari 1973, PPP merupakan gabungan atau fusi dari empat partai politik Islam, yakni Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti).
Setelah 47 tahun bercokol di DPR RI, sejak 1977, kini PPP terpaksa harus hengkang dari Senayan. Api “perang saudara” pun mulai berkobar.
Gagasan MLB mulai dilancarkan. Desakan itu tertuang dalam surat yang ditandatangani Ketua Majelis Kehormatan PPP Zarkasih Nur, Ketua Majelis Pakar PPP Prijono Tjiptohrijanto, Ketua Majelis Pertimbangan PPP Romahurmuzy, dan Ketua Majelis Syari’ah PPP Mustofa Aqil Siradj yang ditujukan kepada Mardiono pada 1 Mei 2024.
Namun, Imam Priyono, Juru Bicara Mardiono menyatakan desakan MLB itu sudah diurungkan. Semua pihak sudah setuju Muktamar berlangsung pada 2025. Kesepakatan itu diambil dalam Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) IX PPP di Karawaci, Kota Tangerang, Banten, 6 Juni lalu.
Benarkah? Kita tidak tahu pasti. Yang jelas, kondisi PPP sudah terlanjur membara.
Apakah konflik internal PPP akan mencapai klimaksnya dengan terdepaknya Mardiono dari kursi Plt Ketum? Atau Mardiono akan tetap bertahan, lalu lahirlah dualisme kepengurusan?
Dilihat dari rekam jejaknya, konflik internal PPP sudah menjadi semacam kutukan sejak 1979. Perseteruan di tubuh PPP sudah menjadi hal biasa. PPP pun dipelesetkan menjadi Partai Perseteruan Pembangunan.
Pada 1979, misalnya, politikus PPP Jailani Naro mendeklarasikan diri sebagai ketua umum dengan dukungan rezim Orde Baru. Naro adalah mantan jaksa yang kemudian menjadi politikus dengan menjadi anggota Parmusi.
Saat itu, Naro berselisih dengan politikus PPP dari faksi NU. Naro menyingkirkan para politikus dari kalangan NU dan memusatkan semua dukungan kepadanya.
Perselisihan Naro dengan politikus NU di PPP mencapai puncaknya pada 1982, ditandai dengan NU memutuskan mundur dari dunia politik dalam wadah PPP melalui keputusan Muktamar 1984 di Situbondo, Jawa Timur. NU menyatakan kembali ke “khittah” 1926, menjadi hanya sebagai organisasi sosial keagamaan.
Akibatnya, perolehan suara PPP pada Pemilu 1987 merosot hingga hanya 15,6 persen. Padahal pada Pemilu 1982, PPP meraih suara nasional 27,78 persen.
Konsekuensinya, Naro dicopot dari jabatan ketua umum pada Muktamar PPP 1989. Dia digantikan Ismail Hasan Metareum.
Hamzah Has kemudian tampil memimpin PPP. Terjadi konflik internal. Zainuddin MZ menggalang dukungan untuk mendongkel Wakil Presiden RI itu pada 2002. Gagal, akhirnya Zainuddin dkk mendeklarasikan PPP Reformasi yang kemudian bermetamorfosis menjadi Partai Bintang Reformasi (PBR).
Suryadharma Ali (SDA) kemudian menggantikan Hamzah Haz. Konflik internal kembali terjadi pada 2014. Pemicunya adalah langkah SDA dan Ketua DPP PPP Djan Faridz menghadiri kampanye Partai Gerindra pada 23 Maret 2014.
Gejolak di internal PPP kali ini terjadi sejak Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) di Lirboyo, Kediri, Jawa Timur. Saat itu PPP mulai memetakan siapa calon yang bakal diusung sebagai calon presiden pada Pilpres 2014.
Saat itu ada sejumlah nama tokoh yang dinilai layak. Akan tetapi, dalam Mukernas itu SDA menyatakan ingin maju sebagai capres.
Seiring waktu bergulir, akhirnya nama-nama capres yang dinilai layak diusung oleh PPP semakin mengerucut. Pilihannya antara Prabowo Subianto atau Joko Widodo. Akan tetapi, SDA dan Djan Faridz mendadak hadir di kampanye Prabowo dan menyampaikan dukungan.
Sikap SDA itu kemudian menuai protes dari 27 Dewan Piimpinan Wilayah (DPW). PPP pun terbelah menjadi dua kubu, yakni kubu SDA yang disokong Djan Faridz, dan kubu Sekretaris Jenderal PPP M Romahurmuziy. SDA kemudian masuk penjara karena korupsi.
Romi akhirnya tampil memimpin PPP. Namun, seperti SDA, Romi pun terjerat kasus korupsi dan masuk penjara.
Romi kemudian digantikan Suharso Monoarfa. Namun Suharso pun didongkel dan digantikan Mardiono. Kini, Mardiono pun hendak didongkel.
Mengapa PPP seakan dikutuk untuk menjalani perseteruan, dan kutukan itu terjadi terus-menerus seperti kutukan yang menimpa Sisipus?
Pemicu utamanya adalah menurunnya suara PPP dalam pemilu. Setiap suara PPP turun, ada pihak-pihak yang justru ingin naik, dengan dalih menyelamatkan nasib partai berlambang Ka’bah ini.
Kali ini, pemicu keterpurukan suara PPP adalah salah pilihnya elite PPP dalam mendukung capres di Pilpres 2024. Yang didukung PPP adalah Ganjar Pranowo, namun yang menang adalah Prabowo Subianto. PPP pun ikut terpuruk bersama Ganjar.
Lalu, siapa yang akan merebut kursi Mardiono jika ia benar-benar terdepak nanti? Biarlah Sisifus yang bicara.
Jakarta, 18 Juni 2024
Karyudi Sutajah Putra