Fusilatnews – Ramalan bahwa PSI akan menjadi partai besar pada 2034 terdengar seperti dongeng politik yang dipaksakan lahir sebelum waktunya. Ia bergema lantang, tetapi hampa, sebab tak ada tanda-tanda di lapangan yang menunjukkan arah ke sana. Politik, sebagaimana hidup, membutuhkan fondasi: figur yang kuat, konsep yang matang, dan urgensi keberadaan yang dirasakan rakyat. PSI, sayangnya, belum menunjukkan semuanya.
Sejak kelahirannya, PSI datang membawa semangat kebaruan. Ia tampil dengan jargon anti-korupsi, anti-intoleransi, dan pro-transparansi. Sebuah paket manis yang lahir dari dahaga publik terhadap partai yang bersih dan muda. Namun, perjalanan waktu menunjukkan partai ini lebih sering terseret dalam pusaran pencitraan daripada konsolidasi gagasan. Alih-alih menguatkan basis ideologi dan program kerja, PSI justru tumbuh dalam bayang-bayang figur politik tertentu dan berakhir menjadi perpanjangan tangan kekuasaan yang sedang bersemi.
Kebesaran sebuah partai tidak dibangun dari poster, konferensi pers, atau retorika “muda” yang tak berisi. Ia dibangun dari organisme politik yang matang: kepemimpinan yang mandiri, platform yang jelas, kaderisasi yang konsisten, dan rekam jejak yang bisa diverifikasi publik. Pada titik ini, PSI nyaris tidak menampilkan satupun sebagai modal menuju predikat “partai besar”.
Figur-figur PSI tampil tanpa narasi kepemimpinan yang meyakinkan. Mereka menumpang pada pesona politik keluarga tertentu yang justru mempersempit ruang independensi mereka. Tidak ada tokoh ideologis, tidak ada pemikir yang menancapkan arah politik partai, tidak ada negarawan yang memayungi gerak mereka. Sebaliknya, struktur PSI tampak seperti kumpulan relawan yang didorong untuk menjadi partai, bukan partai yang membentuk relawan.
Konsep politiknya pun kabur. Dalam banyak isu, PSI tak lebih dari gema kekuasaan, bukan kritik konstruktif. Mereka lebih sering tampil membela daripada menganalisis, lebih sibuk memoles citra daripada membangun agenda politik jangka panjang. Ketiadaan kerangka kerja politik inilah yang membuat rakyat kesulitan melihat urgensi keberadaan PSI. Untuk apa sebuah partai hidup jika ia tak menyatakan apa yang hendak diperjuangkan selain sekadar menjaga kenyamanan penguasa?
Rekam jejak PSI sejak kelahirannya hingga hari ini menunjukkan ketidakkonsistenan yang sulit ditepis. Partai ini bukan hanya gagal meraih suara signifikan, tetapi juga gagal bertahan sebagai partai yang memiliki integritas internal. Fragmentasi, konflik kepengurusan, hingga pengacakan struktur partai oleh intervensi kekuasaan, membuat tubuh PSI rapuh. Ia bukan lagi partai yang tumbuh secara organik, melainkan entitas yang ditata ulang demi agenda politik Presiden Jokowi dan lingkarannya. Ketika sebuah partai kehilangan kedaulatannya, ia kehilangan masa depannya.
Dengan kondisi seperti ini, prediksi bahwa PSI akan menjadi partai besar pada 2034 lebih tepat disebut sebagai upaya menepis realitas yang ada. Politik tidak punya ruang bagi prediksi berbasis harapan kosong. Ia bergerak melalui akumulasi kerja, gagasan, dan kepercayaan publik—sesuatu yang hingga kini belum terbangun di PSI.
Mungkin benar bahwa dalam politik, tidak ada yang mustahil. Tapi untuk PSI, menjadi partai besar bukan hanya mustahil—melainkan tidak terlihat jalan menuju ke sana. Tidak ada figur kuat, tidak ada konsep politik yang solid, tidak ada urgensi keberadaan yang dirasakan rakyat, dan rekam jejaknya justru melemah sejak “diacak-acak” oleh kekuasaan. Jika partai ini ingin masa depan yang lebih dari sekadar menjadi bayang-bayang penguasa, ia harus mulai membangun dirinya dari awal: ideologi, kaderisasi, dan keberanian untuk benar-benar mandiri.
Hingga itu terjadi, prediksi 2034 hanyalah retorika belaka. Sebuah mimpi yang menguap di udara sebelum sempat menyentuh tanah.






















