Fusilatnews – Pernyataan Presiden Joko Widodo tentang rumah pensiunnya di Colomadu, Karanganyar, sempat menimbulkan beragam tafsir di ruang publik. Banyak yang tergesa menilai bahwa Jokowi menolak menempati rumah pemberian negara, seolah hendak menunjukkan sikap kesederhanaan dan kerendahan hati. Namun jika dicermati lebih dalam, alasan yang dikemukakan justru administratif: rumah tersebut belum diserahterimakan oleh Sekretariat Negara. Dengan kata lain, bukan soal menolak, melainkan belum berhak menempatinya secara hukum.
Rumah pensiun itu dibangun di atas lahan sekitar 1,2 hektare dengan anggaran dari negara, sebagaimana lazim diberikan kepada setiap mantan presiden. Secara normatif, penyerahan aset negara kepada pribadi harus melalui proses serah terima resmi dari Kementerian Sekretariat Negara kepada penerima. Selama proses itu belum selesai, maka rumah tersebut masih berstatus milik negara dan belum bisa dihuni. Maka, ketika Jokowi mengatakan “belum akan menempati rumah pemberian negara,” itu bukan penolakan, tetapi penghormatan terhadap prosedur.
Namun di luar urusan administratif, keputusan Jokowi untuk tetap tinggal di rumah lamanya di Sumber, Solo, juga memiliki makna simbolik. Ia seakan ingin menunjukkan kedekatan dengan akar kehidupannya, sekaligus menampilkan narasi “kembali ke asal”—sebuah bentuk citra yang telah lama melekat dalam gaya kepemimpinannya. Tetapi citra itu, kali ini, bersandar pada alasan yang konkret dan prosedural, bukan sekadar gestur politis.
Menariknya, rumah di Colomadu yang dibangun oleh Sekretariat Negara itu dikabarkan hampir rampung, tinggal menunggu penyelesaian bagian pagar dan proses administrasi akhir. Jokowi sendiri menyebut bahwa setelah diserahkan, rumah tersebut mungkin akan difungsikan sebagai tempat pertemuan atau ruang publik. Sikap ini, jika konsisten dijalankan, bisa menjadi preseden baik bagi pejabat negara: bahwa fasilitas negara dapat dikembalikan kepada fungsi sosial, bukan semata kenyamanan pribadi.
Namun demikian, publik tetap memiliki hak untuk mengawasi. Anggaran dan pembangunan rumah pensiun presiden bukan hal kecil, apalagi di tengah kondisi ekonomi rakyat yang belum sepenuhnya pulih. Transparansi tentang nilai, fungsi, dan pemanfaatannya menjadi penting agar keputusan seperti ini tidak sekadar dibaca sebagai pencitraan moral, melainkan sebagai contoh etika bernegara.
Pada akhirnya, esensi dari pernyataan Jokowi bukanlah soal menolak rumah negara, melainkan taat pada hukum dan prosedur kepemilikan aset publik. Di tengah maraknya pelanggaran administrasi dan arogansi kekuasaan, sikap ini—jika tulus dan konsisten—layak diapresiasi. Karena di republik ini, menghormati prosedur kadang jauh lebih langka daripada sekadar menebar simbol kesederhanaan.


























