Pernyataan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka tentang perlunya mengenalkan pelajaran matematika di tingkat Taman Kanak-kanak (TK) telah memicu kontroversi dan kritik keras. Gibran mengungkapkan bahwa penerapan matematika sejak dini adalah langkah yang baik untuk mempersiapkan generasi muda Indonesia menjadi ahli-ahli di bidang teknologi dan sains, termasuk coding, kecerdasan buatan (AI), serta machine learning. Meskipun niat tersebut mungkin didorong oleh keinginan baik untuk memajukan pendidikan di Indonesia, pendapat ini mengabaikan prinsip dasar pendidikan anak usia dini yang seharusnya lebih menekankan pada pengembangan karakter, sosial emosional, serta kreativitas anak.
Pendidikan Anak Usia Dini: Fokus pada Tumbuh Kembang
Sebelum mendalami lebih jauh pernyataan Gibran, penting untuk mengutip pendapat para ahli mengenai tujuan pendidikan di tingkat TK. Menurut banyak pakar pendidikan, seperti Piaget dan Vygotsky, pendidikan pada anak usia dini bertujuan untuk mendukung tumbuh kembang anak secara menyeluruh, dengan fokus pada aspek fisik, kognitif, sosial, dan emosional. Anak-anak di usia tersebut perlu diberikan stimulasi yang sesuai dengan tahap perkembangan mereka, di mana permainan dan interaksi sosial menjadi alat utama dalam pembelajaran. Matematika, dalam bentuk yang berat dan formal, seharusnya bukanlah hal yang menjadi prioritas pada usia ini.
Dr. Suyanto, seorang ahli pendidikan anak usia dini, menjelaskan bahwa pada usia TK, anak-anak seharusnya belajar melalui pengalaman langsung dan eksplorasi dunia sekitar mereka. “Anak-anak usia dini sebaiknya diajak untuk mengembangkan keterampilan sosial, motorik, dan kreativitas melalui permainan. Pengenalan konsep dasar seperti angka dan bentuk memang bisa diperkenalkan secara tidak langsung, namun pengajaran yang terlalu formal dan kaku justru bisa menghambat perkembangan sosial dan emosional mereka,” ungkapnya dalam sebuah wawancara.
Menyodorkan pelajaran matematika dalam bentuk yang lebih rumit kepada anak-anak TK bisa menimbulkan dampak negatif. Alih-alih mendorong rasa ingin tahu, hal tersebut justru bisa membuat anak-anak merasa tertekan dan kehilangan minat dalam belajar. Lebih jauh lagi, ini bisa mengganggu perkembangan psikologis mereka, yang harusnya mengutamakan kebahagiaan dan rasa aman dalam belajar.
Matematika dan Coding Bukanlah Prioritas Utama untuk Anak Usia Dini
Pernyataan Gibran mengenai pengenalan coding di tingkat SD dan SMP mungkin lebih bisa diterima karena coding sudah menjadi keterampilan penting dalam dunia digital saat ini. Namun, ini juga menyiratkan kecenderungan yang lebih besar untuk mendominasi pendidikan dengan teknologi, sementara keterampilan dasar lainnya, seperti kemampuan sosial, kreativitas, dan kecerdasan emosional, justru bisa terabaikan.
Di banyak negara maju, pendidikan coding memang sudah diajarkan sejak usia muda, tetapi mereka tidak mengorbankan prinsip-prinsip dasar pendidikan anak usia dini. Di negara-negara seperti Finlandia, misalnya, pendidikan anak usia dini lebih difokuskan pada pengembangan sosial dan emosional, dengan pengenalan konsep-konsep dasar matematika dan sains dilakukan secara halus melalui permainan dan eksplorasi dunia nyata. Pendekatan ini justru membentuk fondasi yang lebih kuat bagi pembelajaran di tahap selanjutnya.
Jika Gibran berfokus pada pengajaran matematika yang lebih formal dan teknik coding sejak usia TK, kita bisa membayangkan dampak jangka panjangnya: anak-anak Indonesia akan kehilangan kesempatan untuk menikmati masa kecil mereka dengan cara yang seharusnya. Alih-alih belajar melalui kreativitas dan permainan, mereka akan terjebak dalam struktur pendidikan yang terlalu menekankan pada kemampuan teknis, sementara aspek emosional dan sosial mereka terabaikan.
Malapetaka bagi Pendidikan Indonesia
Tentu saja, penting untuk mempersiapkan generasi yang terampil dalam teknologi, terutama dalam bidang-bidang seperti coding dan AI. Namun, tujuan ini tidak bisa dicapai dengan cara mengabaikan pendidikan yang seimbang, yang mengutamakan pengembangan karakter dan kecerdasan emosional. Jika Gibran dan para pemimpin negara lainnya tidak memahami hal ini, maka kita berisiko menciptakan generasi yang tidak hanya cerdas secara teknis, tetapi juga rapuh dalam hal hubungan sosial dan empati.
Pendidikan yang seharusnya menyentuh setiap aspek manusia, termasuk kepekaan sosial dan emosional, tidak bisa digantikan dengan pelajaran yang terlalu teknis di usia yang sangat muda. Jika orang yang tidak paham mengenai pentingnya keseimbangan dalam pendidikan menjadi pemimpin tertinggi di negara ini, kita menghadapi malapetaka. Bukan hanya dalam hal kualitas pendidikan, tetapi juga dalam menciptakan generasi yang utuh—sosial, emosional, dan intelektual—untuk masa depan Indonesia yang lebih baik.
Kesimpulan
Kritik keras terhadap pernyataan Gibran bukan hanya soal teknis pengajaran matematika atau coding di TK, tetapi juga soal pemahaman yang kurang mendalam tentang bagaimana anak-anak berkembang pada tahap usia dini. Pendidikan yang seimbang—yang mengutamakan perkembangan sosial dan emosional—merupakan fondasi penting bagi pembelajaran yang lebih lanjut. Jika Gibran atau pemimpin lainnya tidak memahami ini, maka Indonesia bisa menghadapi generasi yang lebih pandai dalam hal teknologi, namun miskin dalam hal empati dan kepekaan sosial. Ini akan menjadi bencana bagi masa depan bangsa, dan bisa menjadi bukti nyata bahwa pemimpin yang tidak memahami dasar-dasar pendidikan bisa membawa negara ke dalam kesalahan besar.