Fusilatnews – Salah satu kebanggaan yang terus dijual selama sepuluh tahun kepemimpinan Jokowi adalah pembangunan infrastruktur. Jalan tol, bandara, pelabuhan, dan jembatan dibangun di mana-mana seolah menjadi simbol kemajuan bangsa. Namun, di balik angka-angka investasi yang bombastis dan seremoni peresmian yang berlebihan, tersembunyi logika pembangunan yang tumpul dan kerap kali berakhir sia-sia.
Ambil contoh Bandara Husein Sastranegara di Bandung. Dulu, bandara ini menjadi kebanggaan warga Jawa Barat. Letaknya strategis—dekat dengan pusat kota dan terintegrasi dengan berbagai moda transportasi. Dari Husein, warga Bandung dapat langsung terbang ke Singapura, Malaysia, atau destinasi domestik utama tanpa harus ke Jakarta. Bahkan banyak warga yang memilih rute Bandung–Singapura–Eropa atau Timur Tengah ketimbang harus menempuh tiga hingga empat jam perjalanan darat ke Soekarno-Hatta.
Namun, sejak pemerintah memutuskan untuk “memindahkan” operasional penerbangan komersial ke Bandara Kertajati di Majalengka, kehidupan Bandara Husein perlahan mati. Alasannya terdengar indah di atas kertas: membagi beban penerbangan, memajukan wilayah timur Jawa Barat, dan mengurangi kepadatan di Bandung. Tapi realitas di lapangan justru memperlihatkan kebodohan dalam perencanaan.
Bandara Kertajati dibangun megah, tapi akses jalan menuju ke sana sangat terbatas. Tidak ada sistem transportasi massal yang memadai, jarak dari Bandung mencapai lebih dari 100 kilometer, dan waktu tempuh bisa dua hingga tiga jam. Akibatnya, maskapai enggan beroperasi karena sepi penumpang, penumpang enggan terbang karena sulit dijangkau, dan ekonomi daerah yang dijanjikan bangkit justru mati suri. Kertajati menjadi simbol “monumen beton” tanpa ruh, tanpa fungsi, tanpa arah.
Ironisnya, Bandara Husein yang masih berfungsi baik malah dibiarkan sekarat. Logika ini sama absurdnya dengan menggusur pasar tradisional yang ramai demi membangun mal yang tak dikunjungi orang. Alih-alih mendistribusikan kemajuan, kebijakan itu justru mematikan denyut ekonomi yang sudah ada.
Fenomena ini bukan kasus tunggal. Banyak bandara lain di Indonesia mengalami nasib serupa: dibangun tanpa studi kelayakan yang matang, tanpa dukungan infrastruktur pendukung, dan tanpa memperhatikan kebutuhan riil masyarakat. Bandara Silangit, Samarinda, atau Bener Meriah hanyalah sebagian contoh dari ambisi pembangunan yang gagal karena lebih didorong oleh nafsu pencitraan ketimbang perencanaan.
Pembangunan infrastruktur seharusnya berangkat dari logika fungsi, bukan sekadar wujud fisik. Infrastruktur adalah alat, bukan tujuan. Ia seharusnya melayani manusia, bukan menjadi monumen politik. Dalam kasus Jokowi, infrastruktur dijadikan panggung kekuasaan: proyek dibuka dengan gegap gempita, tapi ditinggalkan tanpa keberlanjutan.
Bandara Kertajati mungkin akan tetap berdiri megah, tapi di sekelilingnya yang kosong dan sunyi, rakyat Jawa Barat akan terus bertanya: “Untuk siapa semua ini dibangun?”
Jika ukuran kemajuan adalah deretan proyek mati yang membebani anggaran negara, maka inilah cara paling bodoh untuk membangun Indonesia.
























