Oleh: Entang Sastraatmadja
Isu diversifikasi pangan kembali menyeruak ke permukaan. Seperti dilansir Merdeka.com, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengajak masyarakat—terutama yang tinggal di daerah penghasil pangan lokal—untuk mulai meninggalkan ketergantungan pada beras putih. Ajakan ini disampaikan usai Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah yang dirangkaikan dengan Program Koperasi Desa Merah Putih dan Program Tiga Juta Rumah di Kampus IPDN, Jatinangor, Jawa Barat, Senin (27/10).
Menurut Tito, wilayah Indonesia Timur (zona tiga) menjadi contoh nyata bagaimana harga beras sering kali melambung tinggi akibat kendala distribusi. “Di Papua misalnya, harga beras mahal karena faktor distribusi. Padahal pangan lokal seperti sagu melimpah. Sudah saatnya masyarakat beralih,” ujarnya. Ia juga menegaskan bahwa beras memiliki kandungan gula tinggi, sehingga lebih berisiko bagi kesehatan dibanding sumber karbohidrat lokal lain. Karena itu, pemerintah daerah diimbau untuk aktif mendorong peralihan konsumsi beras menuju pangan lokal.
Namun, ajakan ini sesungguhnya bukan hal baru. Dari masa ke masa, hampir semua presiden pernah menyerukan pentingnya meragamkan pola makan. Tetapi, seruan itu sering kali berhenti di tataran retorika—tidak berlanjut menjadi gerakan nasional yang nyata.
Padahal, pangan lokal memiliki makna strategis, baik bagi ketahanan pangan, ekonomi rakyat, maupun kedaulatan budaya. Pangan lokal adalah bahan pangan yang diproduksi, diolah, dan dikonsumsi di wilayah tertentu. Contohnya sangat beragam: jagung, ubi, sagu, singkong, kentang, serta berbagai jenis buah, sayur, dan olahan seperti tempe dan tahu. Mengonsumsi pangan lokal bukan hanya soal selera, melainkan juga bentuk penghormatan terhadap kekayaan hayati dan budaya bangsa sendiri.
Ada empat alasan mengapa pangan lokal penting bagi masa depan Indonesia:
Keanekaragaman hayati. Pangan lokal memperkaya sumber pangan dari tanaman dan hewan khas daerah.
Ketersediaan musiman. Ia mendorong pola makan yang lebih bervariasi sepanjang tahun.
Pelestarian budaya. Tradisi kuliner lokal tidak punah oleh gempuran budaya konsumtif global.
Dukungan ekonomi lokal. Petani dan pelaku usaha kecil menjadi tulang punggung ekonomi yang berdaya.
Pertanyaannya: apakah pemerintah benar-benar serius mengubah pola konsumsi rakyatnya? Ataukah ajakan “beralih ke pangan lokal” hanya menjadi jargon populis di tengah naiknya harga beras?
Selama ini, arah kebijakan pangan nasional masih menunjukkan keberpihakan besar pada produksi beras. Program intensifikasi dan ekstensifikasi terus digencarkan, ditopang dengan penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah dan beras, serta anggaran besar untuk produksi padi.
Sementara itu, kebijakan diversifikasi pangan memang telah memiliki payung hukum, misalnya melalui Peraturan Presiden (Perpres) No. 81 Tahun 2024 tentang Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Potensi Sumber Daya Lokal. Namun dalam praktiknya, alokasi anggaran dan perhatian politik terhadap program diversifikasi masih jauh tertinggal dibandingkan program beras.
Artinya, pemerintah memang berbicara tentang diversifikasi pangan, tetapi masih bekerja dengan paradigma lama: beras sebagai pusat semesta pangan.
Ajakan Mendagri Tito untuk mencintai pangan lokal tentu patut diapresiasi. Namun, rakyat menunggu bukti konkret. Tanpa dukungan kebijakan yang menyeluruh—dari insentif produksi hingga edukasi konsumsi—seruan itu hanya akan menjadi slogan musiman.
Jika pemerintah benar ingin rakyatnya makan pangan lokal, maka politik anggaran, kebijakan subsidi, dan arah pembangunan pertanian pun harus berpihak pada petani sagu, singkong, dan jagung—bukan semata pada petani padi.
Karena bagaimana mungkin bangsa yang tanahnya subur dan kaya sumber karbohidrat justru takut jika tak makan nasi?
(Penulis adalah Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat)

Oleh: Entang Sastraatmadja
























