Fusilatnews – Barangkali kata tergila-gila terdengar berlebihan untuk menggambarkan rasa kagum terhadap seorang tokoh. Tapi bagaimana lagi cara menamai perasaan lega sekaligus percaya ketika menemukan sosok yang tampak benar-benar mumpuni, di tengah rasa frustrasi yang menumpuk karena satu dekade dipimpin oleh orang yang salah? Purbaya datang sebagai oase di tengah gurun panjang kekecewaan itu.
Selama sepuluh tahun, bangsa ini seperti hidup dalam ilusi kepemimpinan. Janji demi janji bertebaran, jargon sederhana dipuja seolah menjadi ukuran kehebatan, namun substansi pemerintahan justru terkikis. Kita dibuai dengan narasi pembangunan fisik, tapi kehilangan arah moral dan intelektual. Kita dikibuli oleh citra “merakyat,” padahal kebijakan kerap berpihak pada kepentingan oligarki. Rasanya seperti sedang menonton sandiwara besar: ada panggung, ada penonton, tapi tidak ada kebenaran.
Maka ketika muncul figur seperti Purbaya—dengan kedalaman berpikir, integritas, dan kemampuan teknokratis yang nyata—wajar jika sebagian dari kita merasa tergila-gila. Ia seperti bukti bahwa bangsa ini belum sepenuhnya kehilangan harapan akan pemimpin yang rasional, jujur, dan kompeten. Dalam dirinya, kita melihat kembali kemungkinan bahwa Indonesia bisa bangkit dari lingkaran ketidakdewasaan politik dan kepemimpinan yang penuh pencitraan.
Rasa kagum itu bukan soal personifikasi Purbaya semata, melainkan simbol kerinduan kolektif terhadap kepemimpinan yang benar. Kita rindu pemimpin yang bekerja dengan kepala dingin dan hati yang bersih. Pemimpin yang paham data, bukan sekadar pandai berpose di depan kamera. Pemimpin yang menimbang kebijakan dengan nurani, bukan dengan kalkulasi elektoral.
Tergila-gila kepada Purbaya berarti menaruh harap bahwa negeri ini masih punya peluang untuk dipimpin oleh orang yang benar—bukan sekadar populer. Ini bukan fanatisme buta, tapi bentuk kewarasan yang tersisa dari rakyat yang telah terlalu lama dipermainkan oleh politik citra. Setelah satu dekade penuh kekecewaan, wajar bila sedikit harapan terasa seperti keajaiban.
Jika benar sejarah bergerak melalui kesadaran rakyatnya, maka mungkin inilah awalnya: ketika kegilaan kita bukan lagi untuk memuja tokoh, melainkan untuk menuntut kewarasan dalam kepemimpinan. Dan dalam konteks itu, “tergila-gila kepada Purbaya” hanyalah cara lain untuk berkata: kita masih berani berharap Indonesia bisa dipimpin oleh orang yang sungguh-sungguh mumpuni.

























