Fusilatnews – Joko Widodo kembali mengulang narasi klasiknya tentang proyek infrastruktur berskala besar: “bukan untuk mencari keuntungan finansial, tapi untuk kepentingan sosial.” Kali ini, pembelaan itu disematkan pada Kereta Cepat Jakarta–Bandung (Whoosh) — proyek ambisius yang sejak awal menyedot perhatian publik karena biaya, utang, dan efektivitasnya yang masih dipertanyakan.
Dalam pandangan Jokowi, Whoosh adalah solusi atas kemacetan akut di wilayah Jabodetabek dan Bandung, yang menurut hitung-hitungannya merugikan negara hingga Rp100 triliun per tahun. Dengan dalih efisiensi waktu, penurunan emisi karbon, dan peningkatan produktivitas masyarakat, Jokowi menempatkan Whoosh sebagai “investasi sosial,” bukan instrumen bisnis yang menuntut keuntungan. Sebuah penjelasan yang di permukaan terdengar rasional dan visioner — tetapi tetap menyisakan ruang kosong besar di balik angka dan janji.
Menariknya, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menanggapi dengan nada yang lebih berhati-hati. “Ada betulnya sedikit,” ujarnya, seolah menegaskan bahwa meskipun konsep Jokowi tidak sepenuhnya keliru, realitas proyek Whoosh masih jauh dari tujuan ideal itu. Ia mengakui bahwa proyek ini memang membawa misi regional development, namun dampaknya belum terasa. Kawasan-kawasan di sekitar jalur Whoosh belum menunjukkan geliat ekonomi yang berarti. Purbaya bahkan menyarankan agar pemerintah mulai memikirkan cara agar titik-titik pemberhentian di sepanjang jalur dapat dihidupkan agar tidak sekadar menjadi lintasan cepat tanpa manfaat nyata bagi warga sekitar.
Namun di sisi lain, beban finansial proyek ini terus membayangi. Pemerintah kini dihadapkan pada kewajiban pembayaran utang dan bunga besar kepada China, sementara staf teknis dan operasional masih banyak didatangkan dari negeri asal kreditur tersebut. Ironisnya, proyek yang diharapkan menjadi simbol kemajuan nasional justru masih menggantungkan diri pada tenaga asing dan pembiayaan luar negeri — menambah panjang daftar ketergantungan yang membatasi kedaulatan ekonomi.
Maka, klaim Jokowi tentang “keuntungan sosial” Whoosh tampak masih sebatas narasi politis yang belum menemukan pijakan di lapangan. Jika benar proyek ini bukan soal laba, publik berhak bertanya: mengapa beban utangnya ditanggung oleh negara? Mengapa manfaat sosialnya belum dirasakan masyarakat di sepanjang jalur kereta cepat? Dan mengapa efisiensi yang dijanjikan justru tampak kalah cepat dibanding laju pertambahan utangnya?
Dalam konteks ini, pernyataan Purbaya menjadi cermin kejujuran teknokratis — pengakuan bahwa proyek ini belum mencapai apa yang dimaksud Jokowi. Ia menegaskan potensi, bukan keberhasilan. Sementara Jokowi berbicara dalam nada pembenaran politik, Purbaya menimbang dalam logika fiskal dan realistis: proyek sebesar Whoosh hanya akan benar-benar berarti jika mampu menumbuhkan kehidupan ekonomi lokal, bukan sekadar menambah daftar utang yang harus dicicil generasi berikutnya.
Pada akhirnya, Whoosh mungkin memang bukan hanya tentang kecepatan perjalanan, tetapi juga tentang kecepatan sebuah bangsa dalam belajar — belajar membedakan antara mimpi pembangunan dan beban yang harus ditanggung akibatnya.


























