Oleh Malika Dwi Ana
Jokowi dan Luhut bukan lagi pemimpin. Mereka adalah salesman utang berjas rapi. Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (Whoosh) bukan solusi kemacetan. Ini penipuan berbalut prestasi—dan kini resmi jadi utang lintas generasi.
Jokowi: Beralibi “Kemacetan 30 Tahun”
“Jakarta macet sejak 30 tahun lalu. Bukan salah saya,” katanya di Solo, 27 Oktober 2025.
Ini alasan klasik. Cuma mengalihkan tanggung jawab ke sejarah, lalu cuci tangan.
Macet sih iya. Tapi solusinya kok utang US$ 6 miliar ke China? Solusinya kok mark-up 100% dari Rp 59 triliun jadi Rp 112 triliun? Solusinya kok kontrak dirahasiakan dari rakyat?
Jokowi bilang: “Kita harus tahu masalahnya dulu.” Rakyat balas: “Kami tahu masalahnya: Anda dan Luhut.”
Luhut: Raja Restrukturisasi, Bapak “Ngapusi”
“Ini bukan utang baru. Hanya perpanjangan cicilan,” kata Luhut, 24 Oktober 2025.
Enam puluh tahun itu bukan perpanjangan. Ini pengakuan telah gagal total.
Pada 2015, janji tanpa APBN, tapi kini APBN dipakai bayar bunga. Janjinya B2B murni, tapi kini BUMN jadi penutup utang. Janji lunas 2040, tapi kini lunas 2085. Janji untung tahun ke-3, tapi kini rugi terus dan butuh subsidi.
Luhut bilang cicilan turun jadi Rp 2 triliun per tahun. Faktanya, pendapatan Whoosh hanya Rp 1,5 triliun, defisit Rp 500 miliar setiap tahun, dan total subsidi terselubung mencapai Rp 30 triliun selama 60 tahun.
Ini bukan restrukturisasi. Ini bail-out pakai nama anak cucu kita.
Hitung-hitungan yang Jokowi & Luhut Sembunyikan
Utang pokok mencapai Rp 92 triliun. Bunga selama 60 tahun (estimasi 4%) mencapai Rp 147 triliun. Total yang harus dibayar Rp 239 triliun. Pendapatan Whoosh tahun 2024 hanya Rp 1,5 triliun. Beban per generasi Rp 80 triliun setiap 20 tahun sekali.
Jika cucu Anda lahir 2040, selamat, dia mendapatkan warisan cicilan Rp 2 triliun per tahun.
Kebohongan Berjenjang
Pada 2015, janji “tanpa APBN”. Pada 2019, “biaya membengkak wajar”. Pada 2022, “hanya pinjam Rp 4,3 triliun untuk bunga”. Pada 2025, “60 tahun = solusi cerdas!”.
Maka ini bukan proyek. Ini skema ponzi infrastruktur.
Siapa Untung? (Bukan Rakyat)
Kontraktor China dapat bayaran penuh plus bunga. Konsorsium BUMN mendapat proyek tanpa risiko. Luhut dan kroninya mendapat jabatan, pengaruh, dan untung dari “konsultasi”. Jokowi mendapat “legacy” di batu nisannya.
Sedang rakyat, buntung! Macet tetap tak berkurang plus punya utang 60 tahun.
Jokowi & Luhut Harus Dijerat Hukum
KPK harus melakukan audit forensik sekarang. Telusuri mark-up Rp 50 triliun, bongkar kontrak CDB yang dirahasiakan, dan hukum siapa pun yang korupsi.
Batalkan restrukturisasi. Enam puluh tahun sama dengan pengkhianatan konstitusi. Paksa China nego ulang dengan audit independen.
Hentikan semua ekspansi. Bandung–Surabaya? Itu gila, selesaikan dulu Whoosh yang rugi.
Copot Luhut dari semua jabatan proyek. Karena ini konflik kepentingan terang-terangan.
Penutup: Whoosh Bukan Warisan, Ini Pengkhianatan
Jokowi dan Luhut bukan membangun Indonesia. Mereka menjual masa depan anak cucu kita demi berfoto di stasiun.
Whoosh bukan kereta cepat. Tapi kereta utang yang melaju ke 2085—dengan penumpang: generasi mendatang.
Logikanya: “Kemacetan 30 tahun” dan Solusinya “utang selama 60 tahun. Terima kasih, Pak.” Rakyat tidak bodoh. Kami tahu siapa biang keroknya.
Tuntut sekarang: #AuditWhoosh, #CopotLuhut, #JokowiJawab.
Bagikan jika Anda setuju cicilan hingga 2085 harus dibatalkan. Biar Whoosh berhenti di rel—dan mulai adili yang bersangkutan di pengadilan.(Malika’s Insight 28/10/2025)
Sumber: pernyataan resmi, kontrak publik, audit independen, dan fakta yang Jokowi & Luhut coba sembunyikan.

Oleh Malika Dwi Ana
























