Damai Hari Lubis
Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)
Bayangkan sebuah skenario kelam: terjadi kerusuhan di pesisir Tangerang yang menimpa warga negara asing asal Republik Rakyat China (RRC). Sebagian dari mereka adalah pebisnis atau penghuni perumahan pesisir, sebagian lagi mungkin agen yang datang dengan seizin, bahkan mungkin perintah langsung dari Beijing. Bila kerusuhan itu mengancam nyawa maupun harta benda mereka, tentara komunis China (TKC) bisa saja menggunakan dalih “melindungi warga negara” untuk masuk ke Indonesia.
Dengan alasan menjaga keselamatan WNC (warga negara China), Beijing berpotensi mengerahkan pasukan. Jalur laut menjadi pintu masuk paling strategis, karena kapal induk RRC bisa segera merapat dari perairan bebas. Dalam hitungan jam, bala bantuan sudah tiba di titik-titik yang mereka tandai sebelumnya, termasuk komplek perumahan pesisir.
Celakanya, kehadiran mereka bisa berubah dari “operasi penyelamatan” menjadi pola “attack openly”. Jakarta dan kota-kota besar lain bisa lumpuh tanpa perlawanan berarti, sebab selama bertahun-tahun para komprador—terutama sejak era kepemimpinan Jokowi—bebas gentayangan, membuka jalan bagi kepentingan asing.
Jika skenario ini terjadi, Indonesia tidak hanya terancam kehilangan kedaulatan politik, ekonomi, dan budaya, tetapi juga bisa dipaksa menerima diktat Beijing. Pemerintahan RRC mungkin menuntut hak mendirikan pos militer, mengawasi WNC maupun WNI keturunan, bahkan diberi lisensi untuk mengejar dan menangkap “pengacau” dengan alasan mencegah kerusuhan terulang. Pada titik ini, sulit membedakan apakah mereka sedang melindungi warga negaranya atau justru melakukan invasi militer terselubung.
Sumber konflik bisa sangat sepele—perbedaan gaji antara pekerja lokal dengan pekerja asal China, misalnya. Namun jurang kecemburuan sosial itu bisa dengan mudah dipicu menjadi pertikaian besar. Di sinilah Beijing mendapat justifikasi untuk bertindak. Apalagi, hampir semua pekerja asal China yang datang ke Indonesia berstatus eks-wamil (wajib militer), sehingga secara fisik dan mental mereka siap dikerahkan sebagai bagian dari kekuatan teritorial.
Jika itu semua terwujud, bukankah berarti terselesaikan sudah cita-cita lama “Mongol” dalam bentuk modern—menguasai Nusantara melalui kekuatan militer dan ekonomi?
Karena itu, tanda-tanda awal harus diwaspadai. Pola pemberian HGB dan SHM di atas laut, keterlibatan para komprador mulai dari BPN hingga kepala desa, serta pemberian HGU hingga 190 tahun kepada WNA adalah bentuk nyata dari “pembukaan pintu” bagi skenario makar tersebut.
Presiden Prabowo Subianto harus segera menghentikan pola ini. Jangan biarkan Indonesia masuk ke dalam perangkap kolonialisme baru yang dikemas dalam dalih investasi dan perlindungan warga negara asing.