Fusilatnews – Banjir bandang yang menerjang sejumlah wilayah dalam dua pekan terakhir kembali memunculkan pertanyaan mendasar: apakah ini murni bencana alam, ataukah hasil dari keputusan manusia? Temuan investigasi terbaru menunjukkan bahwa bencana ini bukan sekadar fenomena cuaca ekstrem, melainkan buah dari kebijakan izin yang dikeluarkan tanpa kendali selama bertahun-tahun.
Jejak Kebijakan yang Mengundang Petaka
Data perizinan yang dihimpun dari laporan pemerintah daerah dan dokumen Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memaparkan fakta mencengangkan: dalam dua dekade terakhir, ribuan hektare kawasan hutan dialihfungsikan untuk perkebunan sawit dan aktivitas ekstraktif lain. Sebagian besar izin itu diterbitkan bahkan di wilayah yang secara ekologis dikategorikan sebagai daerah resapan, zona penyangga sungai, dan area rawan longsor.
Namun investigasi ini tidak berhenti pada angka dan peta izin. Ia menautkan satu per satu mata rantai yang selama ini terpisah:
kebijakan masa lalu – ekspansi sawit – hilangnya hutan – kerentanan ekologis – banjir bandang.
Hutan Hilang, Risiko Menggulung
Penginderaan citra satelit menunjukkan penurunan tutupan hutan secara signifikan di wilayah yang kini terdampak banjir bandang. Di beberapa kabupaten, hilangnya hutan mencapai 60 persen dalam 10 tahun terakhir. Di lokasi yang sama kini berdiri hamparan sawit yang tidak memiliki kemampuan ekosistem sebagaimana hutan alam: menyerap air, mengikat tanah, serta memperlambat aliran permukaan.
“Ketika hujan ekstrem datang, tanah tidak punya waktu untuk menahan. Semua langsung meluncur menjadi arus deras,” ujar seorang peneliti lingkungan yang terlibat dalam investigasi ini.
Air Mencari Jalan, Izin Membuka Ruasnya
Perizinan yang longgar tidak hanya membuka ruang bagi ekspansi perkebunan, tetapi juga pembangunan jalan kebun, kanal, dan drainase artifisial yang mengubah aliran air alami. Di beberapa titik, kanal-kanal ini justru menjadi jalur percepatan bagi air bah untuk menerjang pemukiman.
Di lapangan, warga mengaku sudah berulang kali memperingatkan pemerintah daerah. “Dulu di sini hutan semua. Setelah perusahaan masuk, banjir datang setiap tahun, dan sekarang makin parah. Ini bukan karena hujan, tapi karena hutan habis,” kata Sardi, warga yang rumahnya tersapu banjir bandang.
Bencana yang Bisa Dihindari
Investigasi menemukan pola yang terus berulang: setiap wilayah yang kini dilanda banjir bandang mengalami deforestasi masif yang dimulai setelah keluarnya izin-izin baru, terutama untuk perkebunan sawit. Pola ini memperkuat dugaan bahwa bencana yang terjadi bukan peristiwa natural semata, melainkan konsekuensi dari kebijakan yang mengabaikan risiko ekologis.
Ahli tata ruang menilai, selama izin masih dikeluarkan tanpa mengindahkan daya dukung lingkungan, potensi bencana akan selalu menghantui. “Ini bukan bencana alam. Ini bencana tata kelola,” tegasnya.
Pertanyaan Besar yang Menunggu Jawaban
Siapa yang bertanggung jawab? Mengapa izin-izin itu diterbitkan di kawasan kritis? Siapa yang diuntungkan, dan siapa yang harus menanggung kerugiannya sekarang?
Banjir bandang yang seharusnya bisa dicegah telah berubah menjadi tragedi. Dan di balik derasnya air, investigasi ini menemukan bahwa ancaman terbesar bukanlah hujan, melainkan izin yang diberikan tanpa menjaga keselamatan lingkungan.
Bencana ini — sebagaimana temuan investigasi menegaskan — bukan takdir alam. Ia adalah bencana izin.
























