Oleh Malika Dwi Ana
Jangan terlalu serius membaca isu bandara IMIP sebagai “operasi intelijen ekonomi” yang canggih.
Itu terlalu berlebihan.
Yang sebenarnya terjadi jauh lebih sederhana, sekaligus lebih memalukan: ini hanya drama renegosiasi kontrak dengan China tanpa ingin terlihat pengecut di mata Beijing.
Caranya klasik:
1. Jebloskan tiba-tiba isu bandara gelap (yang sudah beroperasi sejak 2019 dan internasional sejak Agustus 2025) ke publik.
2. Biarkan buzzer dan media sosial menggoreng narasi “China penjajah!”, “bandara gelap!”, “anomali kedaulatan!”.
3. Lalu pemerintah muncul sebagai pahlawan kesiangan: “Kami akan tinjau ulang tax holiday 20 tahun, royalti 0,5 %, dan fasilitas-fasilitas istimewa lainnya.”
Jika Beijing nurut dan mau naikkan “harga sewa” atas tanah air kita, bagus.
Pemerintah bisa klaim kemenangan kecil, royalti naik sedikit, dan Prabowo dapat poin “menjaga kedaulatan” untuk legacy.
Tapi jika Beijing ngamuk?
Investasi USD 20 miliar kabur, 90 % rantai pasok nikel dunia terganggu, rupiah ambruk, inflasi melonjak, pabrik baterai EV dunia kelaparan.
Dan yang mati, seperti biasa, bukan anak-anak pejabat yang sedang liburan ke Eropa atau kuliah di London, melainkan buruh Morowali yang sudah kehilangan 58 nyawa resmi sejak 2017.
Pemenang sesungguhnya?
Bukan Indonesia.
Pemenangnya adalah Washington, yang dari awal ingin kita lepas dari dekapan China lewat Inflation Reduction Act, tapi tak mau membayar ganti rugi sepeser pun.
Kita cuma dipakai untuk main kotor, lalu dibuang seperti tisu bekas.
Cukup lihat polanya: semua proyek yang tiba-tiba gaduh sekarang adalah investasi China—Morowali, Weda Bay, Obi.
Sementara investasi Amerika dan Australia (Freeport baru, Vale, Chevron) adem ayem saja.
Bisa jadi ini juga trik bargaining untuk utang Kereta Cepat Jakarta–Bandung yang sudah membengkak melebihi Rp 1.200 triliun.
Jadi, selamat menikmati season terbaru serial panjang “Indonesia Dijual”, episode “China vs Barat”.
Dan endingnya sudah bisa ditebak: kita tetap jadi jongos—cuma ganti majikan.
Malika Dwi Ana
Jakarta, 3 Desember 2025

Oleh Malika Dwi Ana
























