Oleh Malika Dwi Ana
Selamat datang di Kolosseum abad ke-21.
Lokasinya bukan Roma, melainkan Morowali, Sulawesi Tengah.
Gladiatornya bukan prajurit bertameng baja, melainkan buruh tambang berhelm retak dan tanpa senjata.
Penontonnya bukan bangsawan berjubah, melainkan elit Jakarta berjas mahal yang memegang gelas wine.
Dan darah yang tumpah di arena ini benar-benar nyata.
Di tengah arena, dua binatang buas sedang berebut nikel, logam hijau yang menjadi darah baterai listrik dan senjata masa depan:
– Naga China (Tsingshan Holding)
– Elang Amerika (Inflation Reduction Act + QUAD)
Di antara mereka hanya ada satu bidak kecil berbendera merah-putih bertuliskan “Indonesia”.
Bidak itu sedang diinjak-injak, dilempar-lempar, dan akhirnya akan mati lemas, entah oleh cakar naga atau patokan paruh elang.
Yang pasti: bidak tidak pernah menang. Bidak hanya diciptakan untuk ditumbalkan.
Babak I: Naga Menang KO Teknis (2013–2024)
Tsingshan masuk lewat karpet merah Pasal 33 ayat (4)–(5) UUD 2002.
Mereka bangun 11 smelter, PLTU 3,8 GW, pelabuhan khusus, dan bandara internasional tanpa pos imigrasi permanen.
Investasi USD 20 miliar, saham mayoritas 66,25 %, 30 ribu TKA bebas keluar-masuk.
Hasil: China kuasai 90 % rantai pasok nikel dunia, Indonesia dapat royalti kurang dari 8 %, 58 buruh tewas, hutan 8.200 hektar rata dengan tanah.
Elang Amerika hanya bisa duduk di tribun sambil berteriak “ foul play! ”.
Babak II: Elang Balas Dendam (2025–sekarang)
Washington mengeluarkan senjata pamungkas: Inflation Reduction Act.
Subsidi EV USD 7.500, tapi syaratnya: jangan pakai nikel China.
Artinya: Indonesia harus memilih, tetap jadi budak Beijing atau jadi budak baru Washington.
Prabowo dikirim ke APEC, Luhut dikirim ke Beijing, semua sibuk mencari posisi “di tengah”.
Di tengah arena, bidak merah-putih hanya bisa berdiri gemetar.
Babak III: Buzzer Masuk Arena
Tiba-tiba muncul tagar #UsirChina #BandaraGelap #AnomaliKedaulatan.
Rakyat disulut, buruh lokal dibenturkan dengan TKA, media sosial jadi arena adu domba.
Pertandingan catur berubah menjadi pertunjukan gladiator: rakyat melawan rakyat, demi hiburan dua binatang buas.
Akhir yang Sudah Ditulis
Apapun hasilnya, bidak merah-putih akan hancur.
– Jika naga menang → kita tetap jadi koloni China versi smelter
– Jika elang menang → kita jadi koloni Amerika versi subsidi
– Jika seri → keduanya tetap menguras nikel, kita tetap dapat asap, limbah, penyakit, longsor, banjir, hutan gundul, sungai dan laut tercemar, kerusakan yang tak akan pulih dalam 20-30 tahun ke depan.
Yang tidak pernah muncul dalam skenario ini adalah kemenangan Indonesia sebagai subjek, sebagai pemilik nikel terbesar di dunia.
Di Kolosseum ini, gladiator tidak pernah dipegangi pedang.
Mereka hanya diberi bendera kecil untuk dikibarkan saat tubuhnya sudah terkapar bersimbah darah.
Dan tepuk tangan paling keras selalu datang dari tribun VIP Jakarta.
Malika Dwi Ana
Jakarta, 3 Desember 2025

Oleh Malika Dwi Ana
























