Fusilatnews – Banjir besar yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada awal Desember 2025 kembali membuka luka lama Indonesia—luka ekologis yang telah dibiarkan menganga selama bertahun-tahun. Setelah badai reda, setelah gelombang evakuasi dan bantuan mengalir, Indonesia akan memasuki fase yang lebih kritis: diskursus tentang deforestasi yang bukan hanya menjadi perbincangan nasional, tetapi menggema hingga tingkat dunia.
Foto-foto gelondongan kayu yang terbawa arus deras menjadi bukti tanpa kata. Hutan yang rusak bukan isu abstrak; ia hadir secara kasat mata dalam setiap batang kayu yang terseret banjir. Data, investigasi lapangan, dan pengalaman bertahun-tahun menunjukkan bahwa penyebab utama bencana ini bukan semata curah hujan ekstrem, tetapi kerusakan hutan yang semakin masif serta alih fungsi lahan yang berlangsung tanpa kontrol memadai.
Respons Pemerintah: Penanganan Cepat dengan Dana Siap Pakai
Di tengah krisis, pemerintah melalui Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menegaskan bahwa negara masih sanggup menanggulangi bencana dengan sumber daya yang ada. Dana Siap Pakai (DSP) dalam APBN yang berada di kisaran Rp 500 miliar digunakan untuk kesiapsiagaan dan tanggap darurat. Presiden Prabowo Subianto bahkan telah menginstruksikan penambahan dana jika situasi menuntut.
Pemerintah juga memastikan belum membuka pintu untuk bantuan asing. Negara-negara sahabat yang memberikan atensi diapresiasi, tetapi pemerintah menegaskan bahwa kemampuan nasional masih memadai.
Menko PMK Pratikno menambahkan bahwa Presiden memerintahkan seluruh kementerian/lembaga untuk bergerak ekstra responsif, memprioritaskan penyelamatan korban, pemulihan fasilitas, dan distribusi bantuan. Penggunaan DSP menjadi instrumen utama untuk percepatan penanganan di tahap tanggap darurat.
Respons cepat pemerintah tentu krusial. Namun setelah darurat mereda, dunia akan mempertanyakan hal yang lebih fundamental: apa akar dari bencana ini?
Diskursus Dunia: Ketika Sumatra Kembali di Panggung Global
Banjir Sumatra tidak akan berhenti sebagai wacana domestik. Dalam isu-isu ekologis global, Indonesia selalu menempati posisi strategis: ia merupakan penjaga salah satu paru-paru dunia, pemilik keanekaragaman hayati terbesar, sekaligus negara dengan laju deforestasi yang sering menjadi sorotan.
Setiap kali banjir besar terjadi dan masyarakat dunia melihat kayu-kayu gelondongan berserakan, pertanyaan internasional pun kembali mengemuka:
Bagaimana mungkin negara dengan kekayaan hutan tropis raksasa terus mengalami kerusakan ekologis sebesar ini?
Dunia peduli bukan karena rasa ingin tahu semata, tetapi karena:
Hutan Indonesia berperan besar dalam penyerap karbon global.
Penggundulan hutan Sumatra memengaruhi perubahan iklim regional Asia-Pasifik.
Kehilangan hutan Indonesia berarti hilangnya habitat spesies endemik dunia.
Krisis ekologis Indonesia mempercepat krisis iklim global.
Setelah bencana ini, dalam forum-forum seperti COP, UNEP, UNFCCC, hingga diskusi akademik internasional, Indonesia akan menjadi topik utama dalam kategori environmental governance.
Setiap tindakan—atau ketidaktindakan—akan dibedah oleh komunitas ilmiah, NGO global, negara donor, dan pengamat lingkungan internasional.
Reputasi Indonesia sebagai penjaga hutan tropis terbesar ketiga di dunia sekali lagi berada di ujung tanduk.
Dana Darurat Tidak Bisa Menambal Luka Ekologi
Sebesar apa pun DSP yang digelontorkan, ia hanya bersifat kuratif. Ia menyelamatkan hari ini tetapi tidak menjamin besok.
Siklusnya terlalu familiar:
Hutan rusak →
Air tidak tertahan →
Banjir terjadi →
DSP digunakan →
Pemulihan sebentar →
Lupa →
Bencana berikutnya datang.
Jika akar ekologisnya tidak diselesaikan, dana darurat hanya menjadi “plester” pada penyakit menahun yang terus memburuk.
Kewajiban Baru Indonesia: Transparansi, Reformasi, dan Keberanian Politik
Pasca-penanganan bencana, pemerintah tidak bisa lagi menunda agenda besar:
1. Penegakan hukum terhadap pembalak liar secara nyata
Bukan sporadis, bukan pencitraan, tetapi penindakan berbasis ekosistem dan rantai pasok.
2. Audit menyeluruh izin konsesi
Termasuk perkebunan, tambang, dan proyek infrastruktur yang berpotensi merusak kawasan lindung.
3. Rehabilitasi hutan secara serius
Rehabilitasi berbasis landscape, bukan sekadar penanaman seremonial.
4. Keterlibatan masyarakat adat
Mereka adalah penjaga hutan paling efektif di dunia, menurut berbagai studi internasional.
5. Transparansi pengelolaan dana bencana
Sebagaimana menjadi sorotan di berbagai laporan nasional dan internasional, penggunaan DSP dan dana sosial APBN perlu diawasi ketat untuk menghindari korupsi.
Jika lima pilar ini tidak diupayakan, dunia akan menilai Indonesia gagal memanfaatkan momentum pasca-banjir untuk memperbaiki tata kelola lingkungannya.
Penutup: Mengakhiri Politik Tutup Mata di Era Perubahan Iklim
Banjir Sumatra adalah tragedi kemanusiaan, tetapi juga peringatan global. Dunia sedang bergerak menuju kesadaran bahwa krisis iklim tidak mengenal batas negara. Apa yang terjadi di hulu-hulu sungai Sumatra berdampak pada iklim kawasan dan stabilitas ekologis global.
Indonesia tidak bisa lagi menganggap isu deforestasi sebagai urusan internal.
Hutan Indonesia adalah milik bumi.
Dan kerusakannya adalah kerugian bagi seluruh umat manusia.
Pasca penanganan bencana, dunia akan menunggu: apakah Indonesia memilih jalan berani untuk mereformasi tata kelola hutannya, atau tetap membiarkan siklus bencana berulang?
Karena pada akhirnya, DSP mungkin menyelamatkan nyawa hari ini, tetapi hanya hutan yang sehat yang dapat menyelamatkan masa depan dunia.


























