Fusilatnews – Di tengah kepungan tragedi yang menghantam Asia Tenggara—banjir besar, tanah longsor, desa-desa yang hilang dari peta, dan ribuan nyawa yang lenyap—satu pertanyaan menggema dari berbagai penjuru dunia: mengapa pemerintah Indonesia, di bawah Presiden Prabowo Subianto, belum juga menetapkan status bencana nasional?
Pertanyaan ini tidak muncul dari ruang kosong. Justru ia lahir dari kenyataan pahit yang terhampar di depan mata: lebih dari 600 orang tewas di Indonesia, ratusan masih hilang, dan wilayah-wilayah seperti Aceh, Sumatra Utara, dan sejumlah daerah terpencil masih terputus total dari bantuan. Sementara di Sri Lanka, lebih dari 355 nyawa melayang dan ratusan hilang; di Thailand, kisah-kisah penyelamatan dramatis terus bermunculan. Namun di Indonesia, krisis itu tampak menggantung dalam ketidakpastian administratif.
Ketika air mulai surut, wajah sebenarnya dari bencana mulai terlihat: kelaparan, kehausan, dan keterputusasaan. Beberapa desa hanya memiliki makanan untuk “dua hari ke depan”. Anak-anak menangis meminta minum; para orang tua pasrah menatap langit yang menjanjikan bantuan, tetapi kaki-kaki relawan tak pernah datang.
Di tengah kepanikan itu, Presiden Prabowo melakukan kunjungan ke tiga titik terdampak. Ia mengakui bahwa banyak daerah masih belum terjangkau bantuan. Namun ketika masyarakat, akademisi, relawan kemanusiaan, dan kelompok lingkungan meminta status bencana nasional, keputusan itu tak kunjung diambil.
Mengapa?
Pertama, penetapan bencana nasional adalah pengakuan akan kegagalan negara.
Di banyak pemerintahan yang sangat peduli pada citra, kata “gagal” adalah momok. Penetapan bencana nasional bukan sekadar istilah teknis; ia berarti bahwa pemerintah pusat harus mengambil alih penuh karena pemerintah daerah dianggap tidak mampu menangani situasi. Dalam logika politik, itu sama saja dengan mengakui bahwa sistem kesiapsiagaan negara runtuh di hadapan bencana.
Bagi sebuah pemerintahan baru yang masih berusaha membangun legitimasi, keengganan ini terasa bisa diprediksi—walau tidak bisa dibenarkan.
Kedua, status bencana nasional membuka pintu akuntabilitas yang lebih dalam.
Begitu bencana dinyatakan nasional, maka:
alur bantuan internasional dapat masuk secara besar-besaran,
audit dan pemantauan publik menjadi lebih ketat,
prosedur penggunaan dana dan logistik tidak lagi bisa disembunyikan di balik mekanisme lokal.
Dengan kata lain, penetapan bencana nasional membuka lampu sorot besar pada efektivitas dan integritas pemerintah. Pada titik inilah banyak negara canggung: bantuan internasional berarti bantuan, tetapi juga berarti transparansi.
Ketiga, ada kekhawatiran politis terkait kontrol dan sentralisasi.
Dalam pengalaman Indonesia, penetapan bencana nasional akan:
mengalihkan semua kewenangan ke BNPB dan pemerintah pusat,
menonaktifkan peran gubernur dan bupati,
merombak anggaran,
dan mengubah peta kewenangan politik secara drastis.
Bagi sebuah pemerintah yang masih berusaha mengonsolidasikan kekuasaan, langkah ini mungkin dianggap mengganggu stabilitas politik yang sedang dibentuk.
Namun, semua alasan politis itu hancur ketika dihadapkan pada satu fakta sederhana: nyawa terus melayang.
Di Aceh, beberapa desa bahkan belum tersentuh bantuan sedikit pun. Warga bertahan hanya dengan simpanan seadanya—itu pun disebut hanya cukup dua hari.
Ratusan orang masih tertimbun tanah longsor, ribuan kehilangan rumah, dan ribuan lainnya menunggu pertolongan yang tak kunjung datang. Dalam situasi seperti ini, negara seharusnya bergerak bukan berdasarkan hitungan politis, tetapi atas nama kemanusiaan.
Negara tidak boleh ragu ketika rakyat berteriak minta tolong.
Negara tidak boleh canggung ketika dunia menunggu kepemimpinan moral.
Negara tidak boleh bungkam ketika penderitaan sudah sedemikian nyata.
Lantas, pertanyaan dunia itu kembali menggema: apa yang ditunggu oleh Presiden Prabowo?
Karena ketika pemerintah ragu mengambil langkah besar, rakyatlah yang membayar dengan nyawa. Ketika administratif lebih diutamakan daripada aksi, jam dan menit menjadi musuh baru para korban yang tersisa.
Dan ketika negara menunda keputusan, bencana tidak ikut menunda kehancurannya.
Akhirnya, esensi kepemimpinan diuji bukan pada saat negara kuat, tetapi pada saat negara diguncang.
Prabowo dihadapkan pada pilihan yang sangat sederhana namun menentukan: apakah ia akan berdiri sebagai pemimpin yang memberi prioritas pada keselamatan manusia di atas pertimbangan politik, ataukah membiarkan tragedi ini berjalan tanpa kepastian komando?
Di tengah jeritan korban, di tengah perhatian dunia, dan di tengah derita yang semakin menebal, sejarah menunggu jawabannya.
Dan bangsa ini pun menunggu: kapan akhirnya pemerintah memutuskan bahwa bencana ini adalah bencana nasional?


























