Banjir besar yang terjadi di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat dalam beberapa pekan terakhir bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Ketiganya menunjukkan pola kerusakan ekologis yang paralel: hilangnya tutupan hutan, pembukaan lahan untuk HTI maupun tambang, serta tumpang tindih antara wilayah konsesi dengan daerah aliran sungai (DAS) yang menjadi fondasi sistem hidrologis di Sumatra bagian utara.
Ketika memetakan tiga wilayah ini terhadap infografik JATAM, terlihat bahwa ada benang merah yang menghubungkannya: kehadiran perusahaan-perusahaan yang dikendalikan atau terhubung dengan lingkaran politik Prabowo Subianto — mulai dari Aceh hingga Sumatra Barat.
Infografik itu bukan sekadar peta visual. Ia adalah pola relasi kekuasaan. Ia menunjukkan bagaimana kepemilikan perusahaan, posisi komisaris, struktur direktur, dan keterhubungan politik membentuk satu ekosistem besar yang menguasai lahan skala provinsi — persis di wilayah yang kini menjadi pusat bencana banjir. Dalam konteks tata kelola negara, pola seperti ini menimbulkan pertanyaan yang jauh lebih serius dibanding sekadar siapa pemilik saham: bagaimana pengaruh jaringan ekstraktif ini berkontribusi terhadap bencana ekologis yang dialami masyarakat?
Jejak Konsesi dan Hubungan Politik
Dalam infografik itu, Prabowo Subianto ditempatkan sebagai simpul utama. Di kiri-kanannya, sejumlah nama yang memiliki peran dalam lingkaran politiknya — dari relawan, anggota tim pemenangan, hingga figur yang dekat secara personal — digambarkan menduduki posisi strategis sebagai komisaris, direktur, maupun pemegang saham di perusahaan-perusahaan tambang batubara dan pemegang izin hutan tanaman industri (HTI).
Beberapa contoh konsesi yang tercantum:
PT Tanjung Redeb Hutani (Berau, 180.330 ha)
PT Belantara Pusaka (Berau, 15.610 ha)
PT Nusantara Kaltim Coal (Kutai Timur, 11.040 ha, batubara)
PT Kiani Hutani Lestari (Kutai Timur, 53.083 ha)
PT Nusantara Wahau Coal (Kutai Timur, 14.890 ha)
PT Tusam Hutani Lestari (Aceh, total 97.300 ha, HTI)
PT Tambang Sungai Suir (Sumatera Barat, bijih besi)
Luas konsesi ini, jika ditumpuk, hampir setara dengan total luas Provinsi DKI Jakarta dikalikan sepuluh. Dengan skala sebesar itu, apa yang terjadi di dalam konsesi tersebut tidak lagi menjadi persoalan internal korporasi; ia berubah menjadi urusan publik karena berdampak langsung pada ekologi dan keselamatan warga.
Kembali ke peta aktor: keterlibatan tokoh politik — seperti anggota tim kampanye, bendahara, atau relawan berpengaruh — dalam jajaran komisaris atau manajemen perusahaan ekstraktif memunculkan risiko conflict of interest. Ketika kekuasaan politik berkelindan dengan kepentingan ekonomi, kebijakan lingkungan cenderung menjadi tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Perusahaan punya ruang aman, sementara masyarakat yang terdampak banjir hanya menerima dampak ekologisnya.
Ekologi yang Rusak, Banjir yang Tak Terhindarkan
Untuk memahami bagaimana jaringan ekstraktif ini berkaitan dengan bencana banjir, kita tidak membutuhkan teori yang rumit. Ada empat mekanisme ekologis yang sudah mapan dan diakui oleh para ahli hidrologi:
1. Hilangnya Tutupan Hutan
Tambang batubara dan HTI sama-sama membutuhkan pembukaan lahan masif. Begitu tutupan vegetasi hilang, fungsi resapan air lenyap. Air hujan yang seharusnya terserap ke dalam tanah berubah menjadi limpasan permukaan (runoff), mengalir cepat, dan memperbesar volume sungai dalam waktu singkat. Inilah pemicu banjir kilat.
2. Lubang Tambang dan Perubahan Morfologi Sungai
Lubang tambang seluas puluhan hektare mengubah alur air secara permanen. Banyak lubang tambang menampung air dalam jumlah besar tanpa pengelolaan memadai. Ketika curah hujan ekstrem datang, lubang-lubang ini dapat meluap, memperparah banjir.
3. Kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS)
Banyak konsesi yang berada di hulu sungai — lokasi yang menentukan stabilitas banjir di hilir. Kerusakan di daerah hulu menyebabkan air mengalir dengan volume besar dan kecepatan tinggi, yang pada gilirannya menimbulkan banjir besar di wilayah pemukiman.
4. Kegagalan Reklamasi
Setelah operasi selesai, perusahaan wajib melakukan reklamasi. Masalahnya, dalam praktik di berbagai daerah, reklamasi sering tidak dilakukan atau hanya dilakukan sebagai “tanda formalitas”. Tanpa reklamasi yang benar, bekas tambang menjadi sumber banjir dan longsor untuk puluhan tahun ke depan.
Dengan demikian, ketika infografik menunjukkan bahwa banyak perusahaan ekstraktif yang terhubung dengan tokoh politik tertentu beroperasi di wilayah rawan banjir, pertanyaannya bukan lagi apakah ada korelasi, tetapi seberapa besar skala kontribusi ekologisnya.
Konflik Kepentingan dalam Tata Kelola Negara
Keterhubungan antara elite politik dan perusahaan tambang bukan fenomena baru. Namun dalam konteks figur yang sedang atau akan memegang kekuasaan nasional, konsekuensinya jauh lebih besar.
Ketika pejabat publik, atau calon pejabat publik, memiliki kedekatan dengan perusahaan yang membutuhkan “kelonggaran regulasi”, ada empat potensi risiko:
Izin lingkungan lebih mudah keluar meski dampak ekologisnya besar.
Pengawasan terhadap perusahaan cenderung lemah, karena ada risiko benturan kepentingan.
Penegakan hukum menjadi selektif, terutama dalam kasus-kasus pelanggaran reklamasi.
Ruang publik terpinggirkan, karena kepentingan warga kalah oleh kepentingan ekonomi.
Dalam konteks bencana banjir yang berulang, risiko seperti ini bukan lagi persoalan etika, tetapi persoalan keselamatan publik.
Dampak Sosial yang Tak Pernah Masuk Neraca Perusahaan
Setiap banjir meninggalkan jejak kerusakan:
rumah hanyut
akses jalan terputus
sekolah rusak
lahan pertanian gagal panen
penyakit menular merebak
ribuan warga kehilangan pekerjaan dan pendapatan
Kerugian sosial-ekologis ini tidak pernah masuk ke neraca perusahaan tambang, tetapi ditanggung masyarakat dan negara. Ketika konsesi semakin meluas dan operasi tambang terus berlanjut, ruang hidup masyarakat makin terhimpit. Di Aceh dan Kalimantan Timur, cerita semacam ini sudah berjalan lebih dari dua dekade.
Apa yang Harus Dilakukan?
Bagi publik dan jurnalis, infografik ini adalah pintu masuk penting. Namun kerja investigasi berikutnya membutuhkan langkah-langkah berikut:
Verifikasi dokumen kepemilikan perusahaan-perusahaan yang tercantum.
Membuat overlay peta konsesi–banjir–DAS untuk melihat korelasi spasial.
Mengumpulkan data time-series tutupan hutan dari citra satelit.
Meminta dokumen Amdal dan laporan reklamasi perusahaan terkait.
Mengutip ahli hidrologi independen untuk membaca perubahan ekologi.
Mengangkat suara warga terdampak, terutama yang hidup di area ring-1 tambang.
Tanpa investigasi seperti ini, publik hanya akan disuguhi narasi kabur yang menutupi persoalan fundamental: ketidakadilan ekologis.
Penutup: Politik Ekstraktif dan Masa Depan Ruang Hidup
Infografik JATAM membuka sebuah lanskap baru: bahwa persoalan banjir bukan hanya soal air, hujan, atau sungai. Ia adalah persoalan tata kelola kekuasaan. Ketika jaringan politik, bisnis, dan konsesi raksasa saling bertaut, lingkungan hidup menjadi korban pertama — dan masyarakat menjadi korban berikutnya.
Di titik ini, yang dipertaruhkan bukan hanya kualitas lingkungan, tetapi kualitas demokrasi itu sendiri. Negara yang tunduk pada kepentingan ekstraktif akan selalu gagal melindungi warganya dari bencana ekologis. Dan selama konsesi raksasa terus memperluas cengkeramannya, banjir hanyalah salah satu dari banyak gejala kehancuran yang akan datang.



























