Oleh: Nazaruddin
Banjir bandang yang berulang menerjang Sumatra bukan lagi cerita tentang anomali cuaca atau fatalisme “bencana alam”. Ia adalah surat dakwaan ekologis dari hulu—bukti konkret kerusakan sistem penopang kehidupan yang kita rancang sendiri. Lumpur tebal, gelondongan kayu, dan arus yang merenggut nyawa adalah alarm bahwa lingkungan di sana bukan sekadar terluka, melainkan hampir sekarat.
Akar Petaka: Perampokan Fungsi Hutan
Sejak dekade 1990-an hingga kini, Sumatra telah menjadi episentrum laju deforestasi nasional. Hutan, yang selama ratusan tahun bekerja sebagai spons raksasa serapan air dan penyangga hidrologi, perlahan berganti wajah menjadi lanskap eksploitatif yang rapuh:
- Perkebunan Monokultur Skala Besar
Sawit dan industri bubur kertas menjadi mesin utama konversi hutan. Bahkan kawasan lindung dan konservasi ikut tergadai dalam perizinan yang longgar dan berorientasi laba instan. - Aktivitas Ekstraktif di Kawasan Hulu
Tambang legal dan ilegal, proyek infrastruktur masif, hingga pembangunan PLTA di zona pegunungan merobek struktur penyangga ekosistem sungai. - Kekacauan Tata Ruang dan Lemahnya Penegakan Hukum
Izin tumpang tindih, pengawasan minim, dan sanksi yang tumpul membuat permukiman serta aktivitas ekonomi menembus batas kawasan rawan.
Pada periode puncak deforestasi 1996–2000, Indonesia kehilangan 3,51 juta hektar hutan per tahun, dengan Sumatra sebagai kontributor terbesarnya. Meski angka deforestasi kemudian menurun, bekas lukanya bersifat struktural dan permanen, terutama pada Daerah Aliran Sungai (DAS). DAS yang kritis hari ini adalah warisan langsung dari masa ketika hulu diperlakukan sebagai gudang komoditas, bukan penopang kehidupan.
Paradoks Bernama Pembangunan
Narasi resmi pemerintah kerap menunggangi kata “pembangunan” untuk membenarkan pembukaan hutan. Namun realitas Sumatra menunjukkan ironi tragis:
- Keuntungan vs. Kerugian
Laba dari sawit dan industri ekstraktif di hulu berumur pendek, sementara kerugian bencana—nyawa, hilangnya mata pencaharian, rusaknya infrastruktur—bersifat jangka panjang dan menahun. Tidak ada lagi keseimbangan. Yang tersisa adalah neraca yang defisit secara ekologis dan ekonomis. - Ambang Kritis Tutupan Hutan
Banyak kajian hidrologi menyebut bahwa ketika tutupan hutan di DAS turun di bawah 30%, kemampuannya menjaga siklus air hilang. Hujan ekstrem yang dulu “dijinakkan” oleh kanopi dan perakaran, kini berubah menjadi banjir destruktif yang mematikan.
Sumatra bukan sekadar kebanjiran air hujan—ia kebanjiran konsekuensi dari kebijakan yang abai pada daya dukung.
Dari Tanggap Darurat ke Tanggap Ekologis
Menghentikan siklus maut ini menuntut lebih dari sekadar logistik bencana. Ia memerlukan koreksi sejarah perizinan dan revolusi kebijakan lingkungan:
- Audit Total & Moratorium Permanen di Hulu
Semua izin perkebunan, tambang, dan proyek infrastruktur di kawasan sensitif harus diaudit ulang. Moratorium baru tidak boleh bersifat kosmetik—melainkan permanen pada zona ekologis lindung. - Penegakan Hukum yang Setajam Air Bah
Sanksi harus menohok, bukan sekadar denda administratif. Perlu ada kewajiban rehabilitasi ekologis proporsional, termasuk pemulihan hidrologi dan vegetatif secara menyeluruh. - Restorasi DAS Berbasis Komunitas
Pemulihan hutan di hulu bukan agenda seremonial tanam pohon. Ia butuh desain ilmiah, pendanaan besar, dan pelibatan masyarakat lokal sebagai pemilik ekosistem, bukan buruh proyek lingkungan.
Persimpangan Terakhir
Hari ini, Sumatra berdiri di bibir keputusan besar: melanjutkan ekonomi yang menggerus nyawa, atau memulihkan hulu sebagai penjaga kehidupan. Jika dosa ekologis di hulu terus diabaikan, banjir bandang berikutnya bukan lagi sekadar kemungkinan—melainkan kepastian.
Alam sudah berbicara. Masalahnya, apakah kita masih mau mendengar sebelum terlambat?

Oleh: Nazaruddin























