Fusilatnews – Di tengah reruntuhan rumah, tanah yang masih basah oleh luka bencana, dan tatapan kosong warga yang kehilangan pegangan, hadir seorang pejabat yang kini menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan. Ia datang dengan rombongan kamera, memikul kantong beras sejenak, berjongkok pura-pura mengaduk adukan semen, memeluk korban dengan gestur dramatis, lalu beranjak pergi. Semua berlangsung persis dalam ritme ideal bagi sebuah pengambilan gambar.
Yang ironis, negeri ini sedang menghadapi krisis yang bahkan pemerintah sendiri tidak berani menetapkannya sebagai bencana nasional. Kebimbangan itu membuka ruang kosong—sebuah panggung yang kemudian diisi dengan pencitraan murahan. Negara absen, pejabat tampil. Penderitaan rakyat menjadi dekorasi visual.
Tetapi kisah Zulkifli Hasan tidak dimulai di sini. Jejaknya sudah lama dipenuhi pertanyaan moral. Ketika menjabat Menteri Kehutanan, ia mengeluarkan ijin pembabatan hutan secara masif, memicu gelombang kritik internasional. Bahkan aktor dan aktivis lingkungan dunia, Harrison Ford, memarahinya dalam sebuah wawancara yang kemudian viral di seluruh dunia. Ford—dengan nada marah yang tertahan—mengungkapkan betapa kebijakan tersebut menghancurkan hutan Indonesia, paru-paru dunia, hanya demi kepentingan jangka pendek.
Di hadapan Ford, Zulkifli tampak defensif. Di hadapan korban bencana hari ini, ia justru tampak terlalu performatif. Dua panggung berbeda, satu pola yang sama: gestur yang tidak pernah benar-benar menyentuh substansi.
Karena itu, ketika Zulkifli Hasan mengangkat karung beras untuk kamera, nation ini seperti kembali menyaksikan pola lama yang berulang. Ia tidak datang sebagai pejabat negara yang bekerja, melainkan sebagai politisi yang memanfaatkan tragedi sebagai konten. Gestur-gesturnya tidak lahir dari empati, melainkan kalkulasi.
Ini bukan sekadar tindakan yang tidak pantas. Ini kejahatan etika.
Ketika rakyat berada dalam titik terendah kehidupan mereka, tindakan pencitraan adalah bentuk ketidakberadaban. Ia mungkin tidak melanggar pasal hukum, namun ia merobek prinsip paling dasar dalam peradaban: tidak memanfaatkan penderitaan manusia sebagai panggung kepentingan pribadi.
Bencana seharusnya memanggil negara untuk hadir, bukan memanggil pejabat untuk berakting. Namun pemerintah pusat tetap ragu-ragu, menahan diri untuk menyatakan situasi ini sebagai bencana nasional, meski indikatornya terang benderang. Ketidaktegasan itu membuat luka rakyat menganga lebih lama, dan menjadikan ruang publik terbuka lebar bagi politisi yang mencari sorotan.
Sementara rakyat menunggu kepastian, Zulkifli Hasan menunggu kamera.
Di situlah tragedi kedua terjadi—tragedi moral.
Yang dibutuhkan warga bukan pelukan untuk konten, bukan semen yang disentuh sekadarnya, bukan sekarung beras yang hanya diangkat demi pose. Yang mereka butuhkan adalah kehadiran negara yang utuh, bukan panggung politik yang ditunggangi pejabat.
Dan sampai pemerintah berani menetapkan status bencana nasional, sampai negara hadir tanpa motif tersembunyi, pencitraan seperti ini akan terus menjadi luka tambahan.
Zulkifli Hasan hanya menjadi wajah terbaru dari politisi yang memanfaatkan krisis, bukan menyelesaikannya. Tetapi sejarahnya—dari hutan yang dibabat hingga bencana yang dijadikan latar pencitraan—mengingatkan kita bahwa sebagian pejabat tidak pernah benar-benar belajar dari skandal masa lalu.
Mereka hanya belajar berganti panggung.


























