Fusilatnews – Di sebuah Jumat, seusai jamaah bubar dan sajadah mulai digulung, dunia di luar pagar masjid kembali berdenyut: negosiasi, argumentasi, kontestasi, kalkulasi kekuasaan. Politik berlari cepat, kadang tanpa sempat menyapa etika. Padahal, bagi seorang muslim, politik bukan ruang bebas moral—ia adalah gelanggang ujian akhlaq paling terbuka, paling ramai, dan paling berisiko.
Islam tak pernah alergi pada kekuasaan. Ia hanya alergi pada kekuasaan tanpa adab.
Rasulullah ﷺ mengingatkan kita sejak awal bahwa misi agung beliau bukan membangun dinasti, melainkan menata karakter manusia:
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq.”
Sabda ini adalah kompas, termasuk ketika seseorang memasuki arena politik. Maka dalam definisi Islam, pemimpin hebat bukan dilihat dari berapa kursi ia raih, tetapi dari seberapa jujur ia menjaga amanah.
Amanah: Fondasi Politik Langit
Dalam Al-Qur’an, amanah diletakkan sebelum konsep kekuasaan itu sendiri:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya…” (An-Nisa: 58)
Ayat ini adalah alarm batin bagi politisi muslim. Jabatan adalah amanah berwarna, bukan aksesori kemenangan. Ia bukan ruang menaikkan nama keluarga, kawan, atau kelompok; ia adalah janji yang harus ditebus dengan keadilan.
Bila hari ini kita sering menyaksikan jabatan dipindah-pindah seperti komoditas, Islam justru menegaskan: jabatan adalah pertanggungjawaban, bukan hak istimewa. Ia adalah posisi yang harus melahirkan rasa takut kepada Allah, bukan rasa kebal dari koreksi.
Umar bin Khattab r.a., di tengah puncak kekuasaan, menangis saat mengingat nasib seekor bagal yang terpeleset di Irak—takut bila Allah menanyakannya kelak. Itulah standarisasi Islam: tanggung jawab pemimpin jauh lebih luas dari radius kampanye.
Menang di Politik, Lulus di Akhlaq
Kontestasi dibolehkan, permusuhan tidak. Kritik dibenarkan, fitnah tidak. Strategi diperlukan, tipu-daya dilarang.
Allah ﷻ menegur mereka yang menghalalkan segala cara demi dominasi:
“Dan janganlah kebencianmu kepada suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil…” (Al-Maidah: 8)
Politik Islami meletakkan keadilan di atas sentimen. Lawan tidak diperlakukan sebagai musuh aqidah, tapi sebagai sesama mukallaf yang memiliki hak dihormati. Pertarungan gagasan bukan alasan mencabut kehormatan manusia.
Maka akhlaq politik Islami berdiri di atas beberapa pantangan besar:
Memanipulasi kebenaran demi citra,
Menukar prinsip dengan transaksi,
Mengubur suara rakyat dengan persekongkolan,
Menggunakan agama sebagai slogan, bukan perilaku,
Menang dengan merendahkan, bukan meyakinkan.
Karena politik yang menang tetapi mencederai moral—akan kalah dalam sejarah dan hisab.
Khidmah, Bukan Ghanimah
Dalam tradisi jihad, ghanimah (rampasan perang) hanya berlaku di medan perang. Sayangnya, logika ghanimah sering menyelinap ke ruang kekuasaan: jabatan dibagi sebagai hadiah, fasilitas jadi jarahan, keputusan jadi alat tukar.
Islam mengoreksinya dengan kata yang lebih mulia: khidmah—melayani.
Kuasa dalam Islam berarti:
Semakin tinggi, semakin menunduk,
Semakin luas, semakin bertanggung jawab,
Semakin berpengaruh, semakin ingin memberi contoh,
Semakin kuat, semakin takut pada kezoliman diri sendiri.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz r.a. pernah memadamkan lampu baitul-mal saat menerima urusan keluarga di ruang kerjanya—sebuah ilustrasi sunyi dari batas tegas antara hak publik dan hak pribadi.
Jika hari ini lampu politik sering terasa silau oleh transaksi dan drama, Umar bin Abdul Aziz mengajarkan bahwa politik terbaik adalah yang tak bising di mulut, tetapi paling ribut di amal.
Politik Keteladanan itu Sunyi, Tapi Bergaung
Islam membangun peradaban bukan dengan teori kekuasaan, tapi teladan kekuasaan.
Ia mendidik bukan dengan intonasi tinggi, tapi dengan integritas rendah hati.
Ia memenangkan umat bukan dengan fitnah, tapi dengan bukti keberpihakan.
Maka membangun akhlaq politik yg islami artinya:
Menjadikan kuasa sebagai perpanjangan shalat di ruang publik,
Menghadirkan sifat Rahman–Rahim dalam keputusan,
Memelihara malu sebelum memelihara koalisi,
Menguatkan karakter sebelum menguatkan jaringan,
Menjaga kepercayaan lebih gigih dari menjaga elektabilitas.
Publik boleh lupa janji kampanye seseorang, tetapi publik tak pernah lupa pada kejujuran dan kezalimannya.
Allah mungkin menunda kemenangan politik seseorang, tetapi Allah tidak menunda perhitungan moralnya.
Penutup
Jumat mengajarkan bahwa kita semua berdiri sejajar di hadapan Allah, tanpa protokol, tanpa ajudan, tanpa baliho. Bahkan sultan, presiden, dan pejabat—sama-sama melepaskan alas kaki di sejadah penghambaan.
Jika begitu, layakkah kita memperjuangkan kuasa dengan menanggalkan akhlaq?
Politik Islami menuntut kita menjawabnya dengan amal, bukan sekadar artikel. Tapi artikel ini setidaknya adalah pengingat pertama:
Bahwa politik dalam Islam bukan soal merebut kuasa, tetapi soal menata jiwa agar kuasa tidak merebut kita.
Wallahu a‘lam bish-shawab.























