Yus Dharman, SH., MM., M.Kn
Advokat / Ketua Dewan Pengawas FAPRI
(Forum Advokat & Pengacara Republik Indonesia)
Jakarta, 28 November 2025 – Isu rangkap jabatan pernah penulis ulas sebelumnya di Klikanggaran pada 31 Maret 2023 melalui tulisan berjudul: “Rangkap Jabatan: Manfaat atau Mudharat?”. Saat itu telah ditegaskan bahwa praktik tersebut berisiko mencederai prinsip tata kelola negara yang sehat.
Ironisnya, peringatan normatif tersebut seolah kalah oleh realitas hegemoni kekuasaan. Apa yang diwanti-wanti oleh Lord Acton, sejarawan dan politisi Inggris abad ke-19 — “Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely” — justru menemukan relevansinya di negeri yang secara konstitusional menegaskan diri sebagai negara hukum (Rechtstaat).
Padahal, larangan rangkap jabatan bagi anggota Polri aktif bukan sekadar opini etis, melainkan norma hukum yang tegas dan berkekuatan undang-undang. Landasan utamanya terdapat dalam Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang menyatakan:
“Anggota Polri dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian, atau jika ditugaskan oleh Kapolri berdasarkan aturan perundang-undangan.”
Namun, keberadaan frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” di norma sebelumnya menimbulkan multitafsir, bahkan dianggap sebagai celah bagi polisi aktif untuk mengisi jabatan sipil. Ambiguitas inilah yang kemudian diuji di Mahkamah Konstitusi.
Melalui Putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025, Mahkamah secara tegas membatalkan pengecualian yang sebelumnya membuka ruang bagi polisi aktif menduduki jabatan di luar institusi Polri, sehingga kini tidak ada lagi ambiguitas. Tidak ada lagi celah bagi anggota Polri aktif untuk rangkap jabatan dalam jabatan sipil, kecuali telah berhenti dari kedinasan melalui mekanisme pengunduran diri atau pensiun.
Secara yuridis, larangan ini juga diperkuat oleh:
- UUD 1945 (Pasal 24C ayat 1 yang menegaskan kewenangan dan sifat mengikat putusan MK)
- UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri
- UU No. 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN)
Dengan demikian, putusan MK bersifat Final and Binding, berlaku seketika sejak palu diketuk oleh Ketua Majelis Hakim, serta tidak boleh lagi ditafsirkan di luar makna putusannya.
Catatan penting lainnya, dalam proses persidangan, ditemukan fakta yang memprihatinkan: seorang saksi ahli bergelar Doktor Hukum Tata Negara memberikan keterangan yang tidak relevan dengan pokok uji materi, karena ketika ditanya soal larangan rangkap jabatan menurut UU Polri, justru menjelaskan norma dalam UU ASN, sehingga keterangannya dinilai tidak substantif dan akhirnya dihentikan oleh Majelis Hakim.
Hal ini menandakan masih adanya kekeliruan fatal dalam membaca hierarki dan tafsir undang-undang, bahkan oleh kalangan akademisi yang seyogianya menjadi penjaga kejernihan hukum. Seorang doktor hukum, apalagi seorang pengajar, tidak boleh ceroboh menafsirkan frasa dan norma perundang-undangan, karena itu berimplikasi pada kebingungan publik dan distorsi pendidikan hukum.
Lebih jauh, pihak yang mengabaikan atau tidak mematuhi Putusan MK berisiko masuk dalam kategori:
- Mala prohibita — perbuatan yang menjadi terlarang karena undang-undang melarangnya;
- Mala in se — perbuatan yang pada hakikatnya bertentangan dengan prinsip moral dan kewajaran masyarakat beradab.
Mengabaikan putusan MK juga berarti mencederai Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan mencabik prinsip Indonesia sebagai negara hukum, bukan negara kekuasaan (Machstaat).
Oleh sebab itu, siapa pun — institusi maupun individu — wajib tunduk pada putusan MK. Ketegasan ini bukan ruang debat lagi, melainkan keharusan konstitusional.
Kesimpulannya jelas:
📌 Anggota Polri aktif dilarang merangkap jabatan sipil di luar institusi kepolisian, kecuali telah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.
Tidak boleh lagi ada penafsiran alternatif yang melemahkan norma tersebut. Hukum telah berbicara. Tugas kita adalah mematuhinya, bukan mengakalinya.
Yus Dharman, SH., MM., M.Kn























